Rabu, 06 April 2011

Tak Seperti yang Kau Kira

Aku, kamu, mereka, dan kalian terlahir ke dunia sebagai lak-laki. Begitu pula aku, kamu, mereka, dan kalian terlahir ke dunia sebagai perempuan. Apakah kedua subjek ini minta untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan? Tidak. Setidaknya dalam beberapa pandangan agama menyepakati itu. Semua terlahir atas kehendak Pencipta. Ini sudah saklek. Tidak bisa diganggu gugat. Nash. Jadi, maka jadilah ia. Begitu kata Sang Pencipta, dalam sebuah pemahaman yang kita yakini—aku percaya bahwa kau juga meyakininya.

Pertanyaannya, apakah Pencipta juga menciptakan persamaan dan perbedaan di antara keduanya? Iya. Baiklah, mari telusuri hal ini dari sisi persamaan terlebih dahulu. Dalam pandangan Pencipta, manusia diciptakan sama, tak peduli laki-laki atau perempuan, dia adalah sama-sama: hamba. Seorang hamba yang sama-sama memiliki potensi untuk menjadi ideal dalam menyembah. Yakni potensi untuk mencapai, derajat takwa. Masing-masing mendapat penghargaan yang sama sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.

Pada kedua hamba ini mereka juga sama-sama memiliki perjanjian untuk patuh, dan mengemban tanggung jawab atas kelahiran mereka di bumi. Dan bahkan sejak dalam rahim, kedua hamba ini sudah dibekali kemandirian dan tanggung jawab individual dalam misi kehidupannya. Bahkan Pencipta itu sendiri memuliakan keduanya, karena tanggung jawab dan kemandirian dalam menjalankan misi itu. Silahkan simak (QS: Al-Isra’ 17-70) kalau menyangsikan kalimat ini.

Tidak terkecuali dalam hal prestasi. Pencipta juga menaruh kesamaan, yakni mereka sama-sama memiliki hak untuk berprestasi. Sebab Al-Qur’an pun tidak mentolerir setiap penindasan. Lantas, masihkah ada penyangsian dalam menyikapi persamaan/k e s e t a r a a n di antara keduanya, kalau Pencipta pun sudah menggariskan hal ini?

Di mana letak, dan mengapa ada, perbedaan pada keduanya? Kalau kita menggunakan logika sederhana, pasti perbedaan mendasar pada hamba keduanya ada pada faktor anatomi biologi. Itu lumrah, dan saklek pula. Sudah tidak perlu dibahas dan dipertanyakan lagi. Tetapi adakah perbedaan selain itu, perbedaan dalam sudut yang menginti dan signifikan, di mana Pencipta itu sendiri yang membuatnya?

Kesetaraan dalam Al-Qur’an seperti yang secara singkat terurai di atas itu bisa saja disalahpahami dan mengakibatkan ketidakseimbangan alami. Sebab itu perebedaan musti ada, dan masing-masing mempunyai fungsi dan tugasnya sendiri di antara kedua hamba tersebut.

Masing-masing mempunyai sisi emosional dan kandungan kimia dalam tubuh yang mengkibatkan, kedua hamba ini saling melengkapi, setidaknya ini yang dikatakan oleh profesor/peneliti tentang kesetaraan gender.

Apa akibat penyikapan berlebihan dan disfungsi kesetaraan antara genetik laki-laki dan perempuan itu?

Hal ini sudah kita bisa lihat sendiri dengan banyaknya pasangan sesama jenis, di mana satu sama lain merasa mampu untuk menjadi laki-laki, padahal dia perempuan. Atau sebaliknya, merasa mampu menjadi perempuan padahal dia laki-laki. Bukankah ini suatu ketidakseimbangan? Apa kita mau mengikuti ketidakseimbangan ini?

Ini bukan soal superior atau inferior dari seorang laki-laki atau perempuan. Kamu sebagai perempuan berhak melakukan—tentunya masih dalam kaidah norma agama, atau adat ketimuran kita—dan aku pun juga berhak melakukan itu. Dan bahkan untuk mencapai suatu prestasi dalam misi kehidupan, kita sama-sama berhak mendapatkan itu.

Ini bukan soal aku kuat atau kamu lemah. Atau kamu kuat, dan aku lemah. Pada keduanya juga memiliki sifat kuat-lemah itu.

Dan, ini bukan soal mempertahankan atau saling menonjolkan ego masing-masing. Aku begini, kamu begitu. Kamu begini, aku begitu. Akan tetapi ini tentang bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi.

Di mana aku meletakkan takaran prinsip menurut adat ketimuran kita, semestinya kamu mengerti bagaimana takaran prinsip itu dapat terus diseimbangkan. Pertanyaannya, apakah aku akan diam saja jika kamu menyalahi prinsip (aku bukan mencari kesalahan kamu) dan membuat takaran timbangan itu menjadi tidak seimbang? Bagiku membahas kelemahan orang lain itu adalah menyalahi prinsip adat ketimuran. Karena aku tidak mau timbangan itu jatuh tersungkur karena kesalahan prinsip adat ketimuran kita.

Sekali lagi, ini bukan soal sistem patriarki yang sudah mengakar pada ranah kebudayaan kita. Kamu berhak melakukan dan menjalankan misi kehidupan sebagaimana Pencipta akan menghargai setiap langkah hambanya yang taat.

Kuat prinsip yang menancap di kepalaku ini tentang mengungkit kelemahan seseorang, itu adalah sebuah aib yang Dia sendiri tidak menyukai bila ada orang lain yang membukanya.

Bukankah kita mendengar dan taat akan apa apa yang menjadi larangan Pencipta? Termasuk larangan membuka aib seseorang kita juga pernah mendengar, dan akan taat?

Tak peduli bahwa kamu atau orang yang bersangkutan mengatakan itu bukan aib. Tetapi pada kenyataan orang pada umumnya akan mengatakan bahwa menyalahi kodrat Ilahi itu adalah suatu aib, yang sangat tabu untuk dipamer-pamerkan kepada publik.

Setidaknya, aku mengamini hal ini.

Sabtu, 12 Maret 2011

Fermata: sebuah umpan balik dari Tiramisu

Pada mulanya aku berucap balasan salam sesuai ajaran yang aku yakini: wa'alaikum salam wa'rohmatullahi wabarokatuh.

Terima kasih atas segala menu yang pernah kau hidangkan selama ini. Hingga pada akhirnya kau pun mengeluarkan sajian penutup dalam upaya untuk membasahi mulut--yang dikenal banyak orang dengan mencuci mulut--dan memberikan rasa yang berbeda dari hidangan sebelumnya.

Tiramisu, sebuah sajian penutup yang biasa diberikan untuk menjamu tamu kehormatan para elit italia itu. Apa yang aku rasakan dari tiramisu yang kau buat?

Segar, enak, dan tentunya, hidangan ini berbeda dari hidangan yang pernah ada. Namun dari pada itu, ada kegelisahan, gundah, dan resah yang mewujud berupa pertanyaan-pertanyaan terlontar pada tiramisu buatanmu.

Dari sekian kegelisahan itu nampak nyata bahwa kesalahan seperti apa yang telah kau perbuat, sampai aku memaklumatkan supersemar yang terdahulu. Baiklah, aku coba akan membeber di sini. Meskipun tanpa ada niat sedikit pun untuk menghitung-hitung kebaikan atau membuka dosa masing-masing. Karena pada keduanya akan terhitung sebagai kesalahan lagi pada alam yang lain.

***

Membuka beranda media sosial itu selalu ada aktivitas kegiatan apa yang kau perbuat.
Kau benar, dan sebetulnya kau sudah cukup mengetahui semuanya, bahwa aku tidak berkenan dengan sikap yang kau tunjukkan pada media sosial yang selama ini, tanpa ada unsur kesengajaan, terpantau dengan sendirinya. Padahal sebelumnya sudah cukup lama kau tunjukkkan sikap yang berbeda, sedikit demi sedikit dan perlahan tapi pasti sudah mulai membaik. Akan tetapi ndelala waktu itu, seolah kau ingin menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya. Entah karena apa. Mungkin kau ingin menunjukkan kalau sedang merasa berat dengan harimu pada saat itu, dengan membuat kalimat yang tidak sesuai pada dunia nyata, yang sedang memakan rendang itu.

"Enyak gw malem-malem begini masak rendang. endang banget baunya. bagi ya, nyak. sepotong..., eh, dua potong deh!
enyak : katanya lagi diet. gw : KATA SIAPA? BEUH! FITNAH ITU! GAK ADA-GAK ADA! PERASAAN ENYAK DOANG! *ngotot sambil nyendok nasi."

Pertanyaannya, apakah kau menyesal dan tidak rela dengan usahamu soal ini? Sampai kau tulis dengan huruf besar dan jelas sekali kalimat itu untuk membantah suatu pernyataan yang sudah pernah kita sepakati. Tentang komen komen selanjutnya, apakah tidak ada pilihan kata lain dalam membuat hidup suasana? Tidak, suasana hidup bukan dengan hal itu saja. Apalagi itu di tengah malam buta. Bagaimana hal itu bila terjadi pada dunia nyata? Aku membayangkan bila hal itu terjadi pada dunia nyata, sungguh, kau telah membuat rugi banyak orang.

Aku tidak menyoal seberapa banyak kau makan rendang atau bercengkrama dengan siapa saja, silahkan kalau kau memang menghendakinya. Namun yang aku persoalkan bisa tidak to, bicara dengan gaya yang biasa saja, dan tidak melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan, dengan segala kerendahan hati, dan sekali lagi maaf, bahwa kau di luar kesadaranmu telah menyakiti perasaan orang lain, liar, atau urakan. Ini yang buat aku tersinggung. Mengapa? karena kau calon istriku.

Aku memang tidak berpijak pada dunia maya. Karena itu, terbayang bagaimana jika hal pada dunia maya mewujud pada dunia nyata. Sebab apa yang kamu lakukan pada dunia maya itu, sudah tidak wajar bagiku untuk diwujudkan dalam dunia nyata. Sehingga aku dapat memahami dan mengambil kesimpulan bahwa pikiran yang kau tuangkan dalam dunia maya itu bisa jadi representasi dari keterkungkunganmu dari dunia nyata. Ini adalah sebuah pemberontakan pada dunia nyata, yang artinya kau menolak aturan yang telah diperbuatNya.

Sudahlah, yang jelas aku tidak sedang mencari cari alasan untuk meninggalkanmu dengan mencari kesalahanmu. Hal itu terbeber dengan sendirinya. Dan aku, catat ya, menghargai keputusan kamu tentang maha pemaafnya cinta, dan nilai yang tertanam pada dirimu ketika mencintai seseorang.

Aku memaafkanmu, karena aku mencintaimu. Semoga kau memang layak menjadi baik. Mari kita perbaiki segala sesuatunya dari dalam, bersihkan hati. Karena ini semua cerminan bahwa hati ini sudah kusam oleh perbuatan-perbuatan kita sendiri. Selalu ingat bahwa jasad ini akan kembai pada tanah dan berucap sholawat dan salam pada junjungan mungkin bisa jadi jalan keluar untuk membersihkan hati.

Boleh jadi sayatan kulit oleh pedang dapat terobati, akan tetapi, sayatan hati oleh "lidah", ke mana obat hendak dicari?

*Mari kita cuci mulut ini dengan air bersih

Jumat, 11 Maret 2011

Koda: Semacam Surat Peringatan Sebelas Maret (Supersemar)

"Aku tak peduli atas apa yang terjadi, atau tidak sekalipun. Bilamana kau atau aku yang bangsat. Kencangkan tali sepatumu, dan teruslah berjalan! Kembalilah pada kehidupan yang kau inginkan, untuk jadi dirimu sendiri yang urakan itu."

Pagi ini, kuteguk segelas kopi dan kuhisap sebatang filter yang masih seperti kemarin. Setelah pada akhirnya kembali pernyataan menyakitkan itu keluar lagi dari "mulutku" yang lain. Sudah berulang kali aku nyatakan kepadamu. Asalkan mampu dan punya daya tangan ini untuk menghapus sebuah kata yang bernama 'perpisahan', sudah tentu sedari dulu kata ini kuhapus.

Mengapa? Karena aku tidak suka dengan: p e r p i s a h a n. Tetapi kehendak ternyata berkata lain. Sehingga untuk kesekian kali aku musti berhadapan lagi dengan dia, sindrom perpisahan itu.

Aku sudah cukup bersabar akan kelakuanmu yang kerap kali tidak sejalan dengan apa yang seharusnya sesuai dengan pikiran pada umumnya. Untuk menciptakan perlakuan harmonis. Kelakuan yang tidak sesuai itu tidak perlu kusebut di sini, karena aku pikir kau sudah mengetahui semua.

Kau mendengar, tetapi kau enggan memasukkan ke dalam hati dan membuat tindakan kongkrit. Bahkan kau lebih suka untuk berulangkali melakukan, melakukan, dan melakukan kesalahan yang sama. Hmmmm. Barangkali aku memang tidak cukup pantas untuk kau gugu.

Sekali lagi aku ingatkan, aku sudah lelah. Aku sudah lelah untuk terus kau buat jengkel. Sudahlah, lebih baik aku mengambil keputusan untuk melanjutkan menuju koda. Dan akan mengakhiri lagu kehidupan denganmu apabila rasa lelah ini sudah mencapai puncaknya. Tidak ada repetisi lagi. Karena aku memang lelah. Aku lelah untuk terus kau buat jengkel.


*Surat ini tidak berlaku apabila kau sanggup membasuh rasa lelahku dengan sikap kongkrit yang bisa kau tunjukkan.


cikarang, 2011

Jumat, 07 Mei 2010

hasrat si hijau

mari menyanyi. melantunkan nada. menabuh. memetik. menggesek. meniup.
marah. sedih. senang. tenang.

terpukau. terperangah. bergejolak.
cinta. peradaban. popularitas. budaya. oase.

camp. patriarki. feminisme.

lokalitas? kemelut ekonomi-politik. agama. fisika. filosofi,
semua menjadi satu membentuk rima bergumul di nada: pengetahuan!
emosi melonjak-lonjak masa-masa gejolak eksistensi jiwa
warna hijau berkecamuk dalam magma usia muda

bergulat dalam diri ialah ‘ego, id, super-ego’
alam sadar. alam bawah sadar.
mimpi. realitas. psikologi. kosmologi.

mikro-makro realitas maya alirkan kesadaran
transformasi kata adalah sepenggal ikhtiar berdansa dengan kalimat,
gaya khas laksana astronot ilmu melesat-lesat pada permukaan organon
luapan itu meletup-letup.

letusan sinai pernah membuat Musa pingsan, kenapa? karena ego.
permukaan bumi sudah pula sesak oleh amuk samudera lepas
Nuh pun sibuk dengan layar kapal siap mengarungi bahtera

mengapa? sebab cinta! misi agung manifestasi yang terkasih
gelegar kata pun nada menjadi indah ketika telinga ini tak kunjung tuli,
dengarkan tuan raja sedang meletuskan libido menggapai klimaks, orgasme!

hai cinta, kau yang berada di antara iblis dan malaikat
kau bukan iblis, karena Dajjal tak bernurani, ia tampil sebagai perusuh!
kau bukan malaikat, karena Jibril tak bernafsu, ia tampil sebagai pesuruh!

sedang kau tampil sebagai peluluh-lantak dari perangkat lunak
dan dapat bergemuruh meski harus berkumuh-kumuh
jadi mengapa harus ribut dengan kursi dan berebut identitas diri

kalau pada akhirnya kita pun, mati
bangun! buat sesuatu arti
se-kali-dua-kali-dan-tiga-kali, berkali-kali
sudah itu buang, jangan diungkit-ungkit lagi



sumber gambar:www.vega.org.uk

Kamis, 04 Februari 2010

Tabuh Perkusi

Silaturahmi Para Penabuh Perkusi

Panggung Jagongan Wagen menampilkan beberapa reportoar musik perkusi, yang digelar pada hari Minggu, 31 Januari 2010, di arena pertunjukan Yayasan Bagong Kussudiarjo, wilayah daerah Kasihan, Bantul, DIY.

Semangat anak-anak muda penabuh instrumen ritmikal ini begitu menggelora. Mereka berunjuk kemampuan dalam memainkan instrumen masing-masing pada malam hari waktu itu. Panggung program acara Jagongan Wagen mereka gunakan sebagai ajang menjalin kembali hubungan silaturahmi antar para penabuh perkusi, di Jogja khususnya.
Pertemuan kembali antara para penabuh inilah yang menjadi konsep pertunjukan bertajuk ‘Tabuh Perkusi’.

Bagaimana saya mengetahui latar belakang konsepnya? Jauh sebelum acara ini berlangsung, beberapa konseptor pementasan acara sempat membicarakannya di rumah singgah Art Music Today (di mana saya termasuk orang yang terlibat dalam kegiatan Art Music Today).

Mereka bernostalgia dalam satu ruang pertemuan untuk kembali berproses kreatif melalui panggung musik perkusi. Saya pikir di sini letak peranan ekstra musikal yang dapat mereka pertunjukkan nilai positifnya. Bahwa musik selain mempunyai kepentingan ekspresi individual ataupun kolektif, peranan musik juga dapat menjadi jejaring untuk mempererat hubungan antar personal maupun sosial.

Ini mereka tunjukkan dengan kembali berproses secara kolektif melalui media musik yang hendak ditampilkan. Yang sanggup menarik penonton hingga kurang lebih sekitar lima ratusan orang. Gegap gempita suara konstan ritme perkusif ini seperti menghipnotis penontonnya. Dengan tampilan atraktif para penyajinya pada acara ‘Tabuh Perkusi’ boleh dikatakan sukses.

Dan sudah tentu pesan yang ingin disampaikan pada pertunjukan mereka ialah merangsang semangat musisi perkusi muda lainnya, agar terus berproses setelah diadakan pertemuan kembali antar musisi itu. Cukup sekian, lain kali disambung lagi. Bravo kawankawan! Salam.

senggama kata kita

tiga baris peluru kau bidik pada rongga senapan pistolmu

”tak satu pun kerlingan kunangkunang menarik pikiranku
kecuali kau berada diantaranya, mendapati cintamu
tersungkur aku di surga dibelai polah rindu yang tak tertata”



pelanpelan kukeluarkan belati dari kulit pembungkusnya

”satu kunangkunang tejerat malam
limbung ia lalu bertengger pada
lentik jari manismu, sujud sukur ia
ketika kau menyematkan cinta di antara
pergelangan tangan itu”

ini penanda persenggamaan senjata kita masih berlaku

”tabik. tabik.”

katamu

”liukan tubuhku kini telah digenggamanmu
kunangkunang ratusan ribu menjadi sumpah
yang kau ukir dengan darah di ujung belatimu
peluruku masih tersimpan rapi”

kataku menimpali,

semoga. semoga.

persetubuhan katakata dari kedua senjata kita
di antara peluru dan belati kelak akan berkilatan
sinar makna yang beranak pinak mantra cahaya

seperti kerlipan kunangkunang yang senantiasa
setia pada malam

seperti siraman matahari yang senantiasa
setia menerawang siang


feb 2010

sumber gambar 1: bp1.blogger.com
sumber gambar 2: www.sfusd.k12

Jumat, 22 Januari 2010

Musik dalam Dunia Pendidikan

Di dalam pendidikan, musik menduduki posisi tertinggi karena tidak ada satu pun disiplin yang dapat merasuk ke dalam jiwa dan menyertai dengan kemampuan bertahap melebihi irama dan harmoni” Plato (427-347 SM).

Lebih dari sekadar hiburan, keberadaan musik telah lama menjadi area penting dalam dunia pendidikan.

Berkaitan dengan disiplin ilmu dalam pendidikan kualitas sumber daya manusia, tulisan ini akan berupaya mengurai bagaimana hubungan musik dalam dunia pendidikan.

Apakah musik itu?
Kendati definisi musik masih menjadi bahan perdebatan ahli, namun Suka Hardjana, seorang musikolog, telah berupaya menjelaskan. Pendapatnya mengenai musik secara etimologi ialah perkataan musik dalam Bahasa Yunani: m u s i k e.

Perkataan ini berasal dari kata m u s e m u s e, yakni sembilan Dewa-dewi Yunani yang berada di bawah Dewa Apollo. Dewa yang melindungi seni dan ilmu pengetahuan.

Dalam mitologi Yunani orang pun percaya bahwa musik adalah suatu keindahan yang terjadinya berasal dari kemurahan hati para Dewa. Sebagai hadiah kepada manusia, yang biasa disebut atau dikenal dengan bakat. Musik juga terjadi oleh karena akal budi manusia dalam bentuk teori dan ide yang konsepsional dalam setiap kebudayaan masyarakat.

Sedangkan secara definitif, musik adalah ilmu atau seni menyusun nada dan suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan.

Di sini dapat kita cermati penggalan kalimat 'ilmu atau seni menyusun nada dan suara' yang berarti diperlukan pembelajaran bahkan pendidikan untuk memahami nada atau suara tersebut.

Pentingnya Pendidikan Musik
Musik, dalam kategori musik seni tentu berbeda dengan seni musik pop. Sehingga masyarakat penikmat musik pop ini agaknya seringkali dibuat mabuk kepayang. Bukankah sudah menjadi hal biasa dalam pandangan masyarakat kita yang lebih tertarik dengan musik pop (band) daripada mengapresiasi pertunjukan musik seni, baik itu tradisi seni musik klasik Barat ataupun musik etnis yang ada dalam Kebudayaan Nusantara?

Bahkan anak-anak usia 7-12 tahun jaman sekarang ini lebih pandai menghapal lagunya Ratu, Nidji, Radja, ST 12, dll., daripada menyanyikan lagu 'Ilir-ilir', 'Gundhul-gundhul Pacul', 'Naik Delman', 'Becak Fantasi' apalagi 'Bagimu Negeri' maupun 'Indonesia Pusaka'. Di sinilah letak pentingnya keberadaan pendidikan musik, yakni untuk mengantisipasi keseragaman selera masyarakat dalam kebudayaan manusia yang sedang berlangsung.

Dan melalui pendidikan musik bagaimana dapat mencegah budaya instan ataupun pendewasaan terlalu dini, yang mudah dikonsumsi oleh anak-anak. Dengan seringnya mereka menyanyikan lagu bertema dilema cinta orang dewasa akibat pengkonsumsian raksasa melalui produk virus televisi.

Dengan membanjirnya musik pop di manapun dan kapanpun membuat pendengar menjadi infantil, pasif dan bersikap afirmatif. Daya apresiasi tumpul dan cenderung menikmati musik secara hedonis, tutur Theodor W. Adorno. Persoalan tersebut jelas berlawanan dengan konsep idealisasi pendidikan. Musik di dalam pendidikan adalah musik yang dapat memberi pembinaan pada peserta didiknya.

Barangkali juga perlu diketahui bersama bahwa pendidikan musik itu bukan melulu berbicara mengenai bagaimana cara memainkan instrumen dengan piawai. Dapat memainkan alat musik secara piawai memang salah satu tujuan dalam pembelajaran musik, akan tetapi bukan itu yang terpenting. Dasar dari pendidikan musik adalah bagaimana penanaman rasa musikal pada peserta didik dapat tercapai.

Rasa musikal itu dapat diartikan dengan meningkatnya kepekaan rasa keindahan pada individu, lahirnya sikap toleransi (tepasarira) yang tinggi, mudah dalam bekerja-sama (ensembleship), dapat meningkatkan ekspresi individual sekaligus bagaimana meningkatkan rasa percaya diri personal itu dapat tercapai.

Maka dari itu pendidikan musik layak diterapkan sejak jenjang pendidikan dasar dengan benar. Dan bukan sebagai kurikulum pelengkap yang terkesan menjadi “barang eksklusif”. Minimal siswa—apalagi guru, tidak buta sama sekali dengan nada berikut notasinya. Guru musik yang baik itu guru yang dapat menanamkan rasa penghayatan pada siswa dari lagu notabene banyak mengandung kualitas nilai yang bermoral.

Kenapa pendidikan musik menjadi penting untuk diterapkan pada jenjang pendidikan dasar sekalipun?

“Pelajaran gending tidak hanya diperlukan untuk mencari pengetahuan serta kebisaan memainkan gending saja, tetapi juga untuk membangkitkan hidup kebatinan. Karena gending selalu menuntun rasa berirama, menghidupkan rasa keindahan, mengheningkan rasa kesusilaan.

Di tanah Barat para pemuka agama dan gereja mengetrapkan daya kekuatan gending, sebagai pembuka rasa kebatinan, serta sebagai pengasah budi yang menjadi dasar tajamnya cipta, halusnya rasa dan kuatnya karsa,” demikian penjelasan bapak pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara.

Manfaat Pendidikan Musik
Banyak manfaat yang bisa didapat dari pelajaran musik terkait dalam dunia pendidikan. Terlepas musik itu berakar dari budaya manapun hendaknya kita bukan lalu menampik begitu saja, kalau itu baik untuk kemajuan kualitas sumber daya manusianya, kenapa tidak dikembangkan. Karena pada dasarnya musik itu bersifat universal. Semua orang berhak menikmati bahkan kalau perlu ikut merasakan manfaat musik.

Hongaria memiliki bapak pendidikan berjiwa nasionalis cukup tinggi seperti Ki Hadjar, ialah Zoltan Kodaly. Metode pendidikan musik Kodaly bertujuan untuk memajukan rakyatnya. Menurutnya, literatur musik dalam pendidikan adalah sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang. Ia berpendapat dasar pendidikan dari pelajaran musik yakni bernyanyi dengan benar, tidak sumbang.

Selain sebagai bentuk pengajaran musik, metode Kodaly terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui nyanyian. Lebih dari itu, Howard Gardner (1983), seorang psikolog kognitif dari universitas Harvard yang berhasil mengembangkan teori kecerdasan jamak (multiple intelligence) berpendapat, inteligensi musik mungkin lebih banyak mengandung aspek emosi, spiritual dan budaya daripada inteligensi lainnya.

Tetapi yang terpenting musik dapat membantu sebagian orang untuk mengorganisir cara berpikir dan bekerja sehinggga membantu mereka berkembang dalam hal matematika, bahasa, dan kemampuan spasial. Tutur Gardner dengan nada penuh keyakinan. Pernyataan tersebut mungkin dapat mempertegas betapa berartinya peranan musik dalam dunia pendidikan.

Apalagi dalam perkembangan informasi mutakhir saat ini musik menempati salah satu ikon penting sebagai pengkonsumsian massa dalam peradaban dunia (selain film dan sepak bola). Dan dapat menjadi penyambung rasa antar berbagai negara, sebagai diplomasi dalam kebudayaan bangsa.

Oleh sebab itu hal yang bukan mustahil jika pemerintah pada sektor Pendidikan dan Kebudayaan bisa lebih memperhatikan. Guna membenahi pendidikan musik di negeri ini. Khususnya para pengembang kurikulum pelajaran seni musik di lini pendidikan dasar. Sebab tentunya kita dapat mengambil pelajaran dari negara-negara maju yang menempatkan kurikulum musik sejajar dengan disiplin ilmu yang lain.

Seperti misalnya: pendidikan, ilmu pengetahuan, seni berikut teknologi itu berjalan seiring dengan kehidupan musik mereka yang diterapkan dengan baik dan benar sejak pendidikan dasar. Dengan demikian harapan Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud. Mencetak generasi penerus yang unggul dan berkualitas. Bukan generasi snob yang mudah terbawa arus dari luar, dan gemar tawuran. Sekian.

Referensi Bacaan
Hardjana. Estetika Musik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Tidak diperjual-belikan. 1983.

Djohan. Psikologi Musik. Buku Baik. Yogyakarta. 2003.

Sumarsam. Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003.

Budiarto. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Tarawang Press. Yogyakarta. 2001.

sumber gambar: bee-piano.blogspot.com