Minggu, 22 November 2009

L a l u n a


Usia Laluna belum genap dua belas tahun. Sepanjang sore ini dia suka sekali bermain di serambi rumahnya. Karena nanti malam akan diadakan sebuah pesta. Dia seperti tidak sabar menanti malam. Dengan riang-gembira Laluna berlari kecil. Kadang sambil melompat-lompat di sekitar pekarangan rumahnya yang terlihat mulai ramai tamu. Rumahnya berada di lereng bukit Kabupaten Magelang. Di situ, pohon-pohon terlihat begitu rimbun. Daun kering berserakan di atas tanah, dihempas-hempaskan angin musim kemarau yang berkelindan cukup kencang.


Tepat di ujung paling depan rumah terdapat gapura batu berbentuk naga. Desir angin, dan burung-burung bebas bernyanyi berterbangan dari segala arah. Gemercik aliran sungai di pinggiran rumahnya menambah kesan damai saja. Batu-batu kali sengaja ditanam sebagai tempat duduk keluarga. Atau barangkali tanaman batu itu juga dipakai bercengkrama bagi para tamu, yang sekadar ingin mampir berteduh sembari menikmati alam dan secangkir teh di sore hari. Sebab di serambi sekitar rumah Laluna juga terdapat kedai. Kedai itu terbuka bagi siapa pun. Sementara itu, Laluna asik mengamati para tamu yang datang. Sesekali dia menyapa orang yang lalu-lalang menyiapkan pesta perjamuan nanti malam, sumringah dia menunjukkan sifat keramah-tamahannya kepada tamu-tamu yang berdatangan itu.


Untuk persiapan pesta segala sesuatu ditata di sekitar rumahnya. Tali tambang diikat menjulang di antara pohon yang satu dengan yang lain. Ranting dan kayu bakar ditumpuk berdiri. ”Oo, mau bikin api unggun rupanya,” pikir Laluna. Di tengah-tengah sekitar tempat kayu berdiri ada semacam panggung untuk pertunjukan kecil. Di sebelah panggung terdapat pedati tanpa kuda yang dibiarkan terpampang begitu saja. Sebagai hiasan ruang pesta, ada juga instalasi ikan hiu berwarna biru dengan bola mata besar keluar dari tubuhnya. Ini ditempatkan di antara pohon sebelah kanan panggung.


”Ikan hiunya lucu, dia punya sayap seperti mau terbang,” Laluna berucap dalam hati, kalimat simpatik itu tidak sempat dikeluarkan melalui mulutnya.


***


Sebelum pada waktunya tenggelam, perlahan matahari bergerak ke arah barat. Langit senja menyemburat warna jingga, dan sesaat kemudian malam pun tiba. Pesta dimulai. Konon pesta perjamuan ini rutin diadakan keluarga Laluna setiap malam bulan purnama. Selain hiruk-pikuk ramai suara manusia, riuh-rendah suara juga muncul dari instrumen gitar, bas, dan beberapa alat musik pukul djembe. Alat musik itu dimainkan secara akustik. Beberapa band akustik itu tampil di bagian awal pertunjukan. Mereka ikut mewarnai pesta. Namun tidak seperti biasanya, pesta perjamuan kali ini digelar dengan dandanan peserta yang hadir musti tampil nyleneh.


Barangkali mirip dengan pesta kostum 'helowin' di Barat sana. Di mana orang-orang yang terlibat dalam pesta menggunakan kostum berbau hantu. Tapi perbedaannya dalam pesta ini orang-orang berkostum binatang, meskipun ada juga di antara mereka yang tampil sebagaimana umumnya manusia memakai pakaiannya. Laluna sendiri memakai kostum seorang peri dengan membawa tongkat kecil di tangannya.


Selintas berkelebatan orang lewat di samping Laluna. Sepertinya dia tertarik menghampiri orang yang lewat berdandan mirip burung merak. Diperhatikannya orang itu dari dekat. Mahkota dengan bulu-bulu hitam, hijau dan ungu disampirkan di kepala. Sebagai penghias kepala, warna yang dipakai memang mewakili warna bulu-bulu burung merak. Setelah puas menikmati dandanan ala burung merak ini, dia pergi ke arah manusia berbentuk kupu-kupu, capung, kelelawar, dan badut. Dan ada pula yang berdandan ala perempuan suku Indian, mereka bercengkrama.


Laluna senang mengamati tingkah pola manusia yang berdandan aneh-aneh ini. Tapi tiba-tiba dia tersentak kaget. Sebab ada orang yang tubuhnya dibalut penuh perban dengan bercak-bercak darah berdiri tepat di belakangnya. Kontan saja dia menjerit ketakutan dan sebal terhadap kawan kakaknya yang berdandan seram itu. ”Aih! mengapa kau berdiri di belakangku? Busanamu mengerikan!” hentak Laluna. Sambil mencoba membenahi raut muka yang tampak ketakutan dan sebal tadi ke wajah semula, dia menambahkan pernyataan. ”Kakak seperti orang sakit sehabis kecelakaan tertabrak truk,” katanya.


”sengaja biar terlihat sakit, Laluna.”


”O, sedang sakit, ya, kok bisa datang ke pesta ini?”


”Kan aku bilang terlihat sakit, bukan sedang sakit.”


”Aneh! Pakai kostum kok, kostum orang sakit. Jangan-jangan kakak memang sedang sakit beneran ..... sakit jiwa!” katanya lagi.


”Aku mau lihat pertunjukan dari arah sana saja,” sambil pergi berlalu terlihat wajahnya puas sehabis meledek kawan kakaknya. Lelaki berbentuk mumi itu cuma bisa nyengir diledek Laluna. Setelah meninggalkannya Laluna duduk di atas batu. Dia menikmati keasyikan pentas di panggung kecil itu dari arah yang berlawanan dengan sebelumnya. Bulan purnama di atas terlihat begitu cantik. Bulat. Nyaris tidak ada bagian dari bentuk bulat itu hilang barang secuil. Sinarnya membias dipantulkan daun pohon. Bias cahayanya berada di antara Laluna duduk tenang menyaksikan pertunjukan.


Sedari tadi pertunjukan sudah berjalan. Lewat tiga penyaji. Ketika Laluna sempat ribut dengan manusia mumi itu. Kini tiba giliran empat anak-anak menari. Satunya sebagai dalang, ikut menari tapi sambil membawa kelir. Dengan mengayun-ayunkan kelirnya, mulut anak ini komat-kamit. Seperti sedang mendongeng. Dan keempat anak lainnya mengikuti perintah gerakan dari anak yang mendongeng itu. Mereka menyebut kelompoknya sebagai titisan anak-anak matahari. Mukanya dicat berwarna putih. Lakon punakawan dari cerita pewayangan itu mereka bawakan secara mengalir. Segar. Dengan tetabuhan musik pengiringnya yang rancak. Lalu sayup-sayup terdengar alunan lagu dolanan anak. Lagu Padang Bulan dinyanyikan di samping panggung oleh tim musiknya.


***


Laluna terdiam melihat kawan-kawan sebayanya itu menari dan bercerita di atas panggung. Kadang dia tersenyum sendiri bahkan sempat dibuat tertawa terbahak-bahak. Aksi pertunjukan anak-anak titisan matahari ini memukau Laluna maupun orang-orang yang berada di pesta itu. Di bawah temaram sinar bulan purnama dan beberapa set lampu di sekitar panggung, Laluna duduk dengan kepala menengadah ke atas. Ndangak. Dia seperti melamun. Riuh suara manusia berkostum aneh memberi tepukan tangan pada anak-anak titisan matahari itu tak dihiraukannya. Dengan alunan musik malam hari yang gemericik datang dari arah sungai membawanya tetap melamun saja.



Jogja, 2009

Rabu, 11 November 2009

Merindukan Orang Rumah

Catatan Peristiwa Budaya

Selain memiliki akal budi untuk mengetahui, manusia juga memiliki daya kepekaan rasa. Agaknya dua hal ini yang membedakan unikum perilaku manusia yang satu dengan yang lainnya. Agaknya dua hal itu juga yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia menghasilkan produk melalui akal budi dan daya penghayatan rasanya. Ialah budaya yang disebut sebagai produk dari manusia. Sebagai contoh hal paling sederhana mungkin dapat diambil dari budaya lisan, yang diawali oleh bahasa ibu dalam sebuah keluarga. Sehingga dapat tercipta produk jalinan komunikasi (musyawarah keluarga) yang akan mempererat suatu hubungan dalam keluarga.

Tentunya kita tidak hanya dapat memaknai budaya dalam hal keluarga saja. Budaya dalam arti luas memiliki keanekaragaman disiplin yang mengantarkan pengetahuan manusia sehingga menjadi ahli. Gazalba, seorang ahli ilmu budaya, dalam Mustopo (1989) mengatakan produk budaya ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia, yang membentuk satu kesatuan sosial dalam suatu ruang dan satu waktu. Pada konteks ruang dan waktu, sebagaimana yang sudah kita rasakan, saat ini banyak sekali melahirkan produk-produk budaya.

Kita mafhum bahwa arus perkembangan zaman modern membawa kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai konsekuensi logis hal ini membawa dampak positif sekaligus dampak negatif. Betapapun tidak, kecanggihan era komputer (internet) menyuguhkan kemudahan-kemudahan dalam mengakses segala bentuk informasi yang melahirkan kelompok–kelompok budaya baru: kelompok cyberspace. Berbagai kepentingan pun akhirnya berjejal dalam penggunaan internet, misalnya, saling tukar informasi pengetahuan, pergulatan eksistensi individual maupun komunal, komunikasi langsung melalui citra (image to image) dalam media Facebook ini, hingga pada kepentingan-kepentingan yang berorientasi bisnis.

Internet bukan saja hanya menjadi kebutuhan, akan tetapi juga sudah menjadi bagian dari gaya hidup (life style) masyarakat perkotaan. Mungkin sekilas dapat diilustrasikan begini: setelah puas dengan tongkrongannya nonton bioskop 21 (twenty one) Dulkempul dan kawan-kawan masuk dalam mobil pergi meninggalkan Carrefour. Ia ke mana-mana menenteng tas ukuran sedang berisi ‘laptop’, entah apa yang diperbuatnya dengan barang itu. Lalu sekawanan itu turun dari mobil untuk makan malam di Mc.D atau KFC atau kedai makanan trendi yang dianggap mentereng lainnya kemudian ber-hotspot ria. Meskipun tidak semua orang seperti Dulkempul, namun begitu kiranya kondisi dalam konstelasi masyarakat perkotaan masa kini. Tak urung kemudahan dalam mengarus-deras konsumsi masyarakat dengan gaya hidup perkotaan itu berujung pada budaya konsumtif.

Fenomena Dulkempul itu seperti ditangkap oleh Taman Budaya Yogyakarta dengan menggelar 'Pasar Kangen Jogja'. Agenda ini diselenggarakan di tengah-tengah masyarakat modern Yogyakarta. Dengan mengusung konsep nuansa kekeluargaan. Dengan nuansa kekeluargaan kita serasa berada dalam rumah sendiri saja. Acara penutupan ‘Pasar Kangen Jogja’ pada hari Kamis, 11 Juni 2009. Dalam ‘Pasar Kangen Jogja’ di situ menyuguhkan berbagai macam makanan khas tradisional hasil dari produk lokal.

Apakah hubungan makanan tradisional dengan budaya dan pola kehidupan modern? ”Makanan pada suatu masyarakat merupakan kekayaan pusaka dari masyarakat tersebut. Sifat pusaka itu terbentang dari bahan-bahannya, campurannya, komposisinya, cara memasaknya, cara membungkus dan menyajikannya,” demikian tulis Hairus Salim, seorang wartawan senior itu. Makanan tradisional diibaratkan benda pusaka. Artinya, ia dirawat, di elu-elu, ditampilkan kembali dengan membawa rasa khawatir akan punah jika tidak dirawat. Makanan tradisional seolah-olah memang tidak lagi menarik masyarakat kita dikarenakan semakin banyaknya produksi jenis makanan seperti: fastfood, junkfood, mie instan dll., terlebih dengan semakin maraknya kedai makanan bergaya cafe (dilengkapi fasilitas hotspot) atau bergaya Mc.D dan KFC yang notabene bukan berasal dari budaya kita sendiri. Kalau mau merunut lagi secara budaya, maka makanan mutlak merupakan unsur dasar manusia dan latar belakang kebudayaannya.

Karena makanan berurusan langsung dengan kebutuhan fisik yang tercecap dari cita-rasa lidah kita. Lidah orang yang terbiasa dengan budaya Sunda tentu akan merasakan bedanya sayur asem buatan orang Jawa Timur, begitu pun sebaliknya. ”Bisa dikatakan, makanan merupakan salah satu unsur identitas dasar,” kata Lono Simatupang, seorang pengajar ilmu Antropologi. Bertolak atas dasar identitas lokal (sebetulnya bukan hal baru) agaknya yang menjadi motivasi keberlangsungan peristiwa ‘Pasar Kangen Jogja’ malam itu. ‘Pasar Kangen Jogja’ seperti hendak berupaya melakukan penyadaran masyarakat akan pentingnya nilai budaya lokal di zaman modern melalui makanan tradisional. ‘Pasar Kangen Jogja’ seperti hendak berkata bahwa ia adalah rumah bagi orang-orang yang merindukan orisinilitas produk-produk dari kebudayaan lokal.

Tidak hanya itu, peristiwa ‘Pasar Kangen Jogja’ juga dimeriahkan oleh pementasan musik Kiai Kanjeng. Dalam konteks ini Kiai Kanjeng tampil ibarat makanan tradisional. Garapan reportoarnya lentur dan khas dan sarat mencerminkan kekayaan dan keberagaman budaya Nusantara. Kurang lebih tiga puluh menit setelah tampil membawakan reportoarnya, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) sebagai garda depan kelompok musik itu naik ke atas panggung lalu memberikan penyegaran terhadap publik melalui ceramah budaya. Tidak banyak apa yang disampaikan Cak Nun, pokok pikiran yang bisa ditangkap dari ceramahnya ialah bahwa acara semacam ini patut rutin diselenggarakan.

Kalau perlu bukan hanya seniman saja yang dilibatkan, akan tetapi pihak Taman Budaya Yogyakarta (TBY) juga menghadirkan orang-orang pemerintahan dan tokoh-tokoh kelima agama di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar para elit politik dan tokoh agama itu tidak melulu mengurusi kepentingan individu atau kelompoknya sendiri yang bersifat kampanye politis saja. ”Agar mereka juga bisa belajar dari para pelaku budaya (seniman) mengenai penghargaan terhadap nilai keberagaman budaya. Sudah saatnya seniman lokal tampil ke permukaan dengan membawa karya dan misi yang mencerminkan nilai pluralitas budaya yang mengindonesia,” imbuh Cak Nun.

Selasa, 10 November 2009

Puisi dan Musik

Puisi dan musik bukan hal baru dalam dunia panggung/pertunjukan. Ini bisa dilihat dari warisan seni tradisional masyarakat kita yang majemuk. Seperti misalnya warisan tembang-tembang Jawa dan Sunda, pantun atau parikan di Jawa Timur, mantra di tanah Melayu dan agaknya masih banyak lagi seni tradisi yang menggunakan unsur puisi dan musik. Barangkali yang baru itu cuma gaya tampilan, gagasan atau ide-ide segarnya, konsekuensi dari perubahan jaman. Telah lama pada keduanya tampak sama-sama memiliki nilai ungkap yang berbeda. Kalau puisi menggunakan bahasa kata, musik menggunakan bahasa nada.

Namun yang menarik perhatian di sini bagaimana hubungan kedua bidang seni ini dapat menyatu sebagaimana umumnya disebut dengan musikalisasi puisi. Bukankah berlainan makna apabila kosakata ‘musik puisi’ dibalik menjadi ‘puisi musik’? Lalu, musikalisasi puisi itu seperti apa? Nah, kiranya ini dapat kita kaji lebih mendalam. Jika sejenak kita menilik sejarah kesusastraan Jawa Kuna, maka ada sebuah istilah ‘sastra-gending’ dimana kandungan isinya sarat dengan pesan-pesan luhur dari peradaban masyarakat tradisional yang menarik perhatian. Mengenai ihwal itu bukan berarti tulisan ini hendak mengungkapkan sejarah kesusastraan.

Tetapi istilah tersebut agaknya dapat berguna sebagai pendekatan dalam menggali keterkaitan antara puisi dan musik yang dapat melebur menjadi satu karya utuh. Dalam penelitian Damardjati Supadjar (2001) tentang ‘Serat Sastra Gending’ dan sebenarnya lebih berbicara filsafat sosial, mengemukakan, pada masa Sultan Agung (1613-1645 M) telah dirumuskan secara bipolar hubungan sastra dengan gending. Ahli sastra—dalam penelitian itu—dianggap sebagai hakikat atau makna kehidupan, sedangkan ahli gending lebih mengarah pada syariat atau irama kehidupan. Keduanya tidak boleh bertentangan, harus saling mengisi.

Mungkin persoalan ini juga sama halnya dengan logika ala agama. Kalau dalam agama tidak mungkin ada syariat tanpa hakikat—wujud (Tuhan), begitu pula sebaliknya tidak akan diketemukan hakikat tanpa ada syariat atau hukum yang berlaku guna mencapai Tuhan. Artinya, keduanya harus benar-benar seimbang agar dapat merasakan sesuatu yang abstrak itu. Kembali pada persoalan musikalisasi puisi. Pengibaratan logika agama dan hubungan ‘sastra gending’ tadi selaras dengan persoalan musikalisasi puisi di sini. Dalam hal ini puisi sebagai hakikat, musik pada syariatnya. Keduanya tidak akan didapati sinergi positif tanpa ada keseimbangan. Dari sini dapat dipetik pengertian bahwa musikalisasi puisi, musik dan puisi, itu dua unsur yang tidak dapat dipisahkan.

Tidak ada kategori paling pokok (utama) antara puisi dan musik kalau berbicara tentang musikalisasi puisi. Kadang kala lirik yang begitu kuat itu bisa saja menghilang oleh iringan musik. Peranan musik pun juga demikian, kehadirannya bukan mutlak diberikan untuk mendominasi karya itu. Emha Ainun Nadjib, kita mengenalnya sebagai seorang penyair yang kerap meramu puisi dengan musik, berkata dalam jurnal nasional yang ditulis oleh Vebi Mega Indah bahwa “keduanya hadir sesuai dengan kondisi yang ada”. Dengan kata lain, seorang penyair dan musisi di sini diharapkan dapat berinteraksi dengan bahasanya yang berbeda. Sama-sama menggunakan daya perenungan yang mendalam, baik sebagai bentuk ekpresi pribadi maupun re-presentasi sosial. Ada kalanya seorang musisi itu harus benar-benar mengerti apa dan bagaimana isi (makna) dari puisi yang hendak dikemukakan dan diinginkan penyair. Seorang penyair pun juga dituntut mengerti, setidaknya, mengenal nada agar ruh puisi yang dinyanyikan bisa lebih dirasakan oleh apresiator. Hal ini penting khususnya bagi kita yang tertarik dengan dunia musikalisasi puisi. Proses kreatif di sini butuh kebebasan dalam menghasilkan karya yang demokratis dan dinamis. Dan tentu persoalannya tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan, butuh proses yang tidak instan.

Seni sebagai bentuk re-presentasi sosial dapat diwujudkan ke dalam musikalisasi puisi. Ini sudah dilakukan oleh Emha dengan gaya khas ‘kyai kanjeng’-nya dan mencoba menyikapi keadaan plural masyarakat kita. Gerakan seni yang sudah dilakukannya banyak memberi sumbangan pada lini budaya kemasyarakatan (guyub, rukun) meskipun banyak prestasi itu sepertinya tidak pernah mau diakui. Artinya, cukup dengan kepuasan batin saja. Memang, pada dasarnya konteks seni hampir tidak pernah mengenal batasan kelas sosial tertentu apalagi kesukuan. Tidak ada senior-yunior, miskin-kaya, suku A-suku B, pejabat-tukang becak, semua sama.

Yang ada bagaimana ketulusan dan kejujuran dapat berbuat dan memberi “sesuatu” kepada khalayak itu dapat terbangun, inilah jantung kesenian. Timbul lagi pertanyaan untuk mengakhiri tulisan ini. Apakah generasi kita pecinta seni musik dan seni-sastra dapat merasakan kegelisahan dan hendak berbuat sesuatu? Sejauh mana ia punya strategi? Seperti apa wujud konkritnya? Jawaban dari pertanyaan ini mungkin menjadi pe-er bersama bagi generasi kita, kaum muda. Agar tidak semakin terpuruk dalam kegelisahan itu sendiri. Tetapi bagaimana cara bergerak, bangun, dan maju itu dapat terjadi dan tampak nyata. Bukan hanya dalam mimpi. Sekian.

Budaya Musik dan Kearifan Masyarakat Lokal

Barangkali kita bisa belajar dari satu rangkaian kalimat ini, “luwih becik nuthuk saron tinimbang nuthuk ndasmu”. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih memiliki padanan arti, “lebih baik memukul saron daripada memukul kepalamu”. Saya coba memahami kalimat itu dengan cara menafsirkan gabungan suku kata ‘nuthuk saron’ yakni sama halnya memukul, menabuh atau memainkan saron. Sedangkan gabungan suku kata berikutnya ‘nuthuk ndasmu’ (memukul kepalamu) yang bila benar itu dilakukan kok terkesan hanya sebatas ulah emosional negatif saja.

Seperti yang sudah terlanjur dan pernah terjadi pada kondisi masyarakat kita. Semisal seringkali kabar berita mewartakan kondisi “fals” akibat ulah beberapa oknum sehingga melahirkan istilah tawuran antar pelajar/mahasiswa, ribut di meja politik, perang antar suku (etnis), bahkan agama. Artinya, lebih baik mendengarkan atau memainkan musik, ini tentu lebih artistik daripada berbuat tindakan yang berujung pada anarkistik. Tidak bermaksud hendak menyoal kandungan makna sekaligus siapa dan darimana kalimat tersebut berasal. Akan tetapi secara implisit kalimat parodi ini menggelitik telinga saya, ketika mendengar kabar kondisi “fals” yang sudah-sudah itu dan ingin mengemukakan beberapa persoalan mengenai kearifan budaya musik lokal beserta masyarakatnya.

Sebagaimana yang diketahui, saron adalah salah satu perangkat alat musik gamelan warisan masyarakat tradisional. Instrumen bersifat perkusif ini memiliki tabung resonator di bawahnya dan terdiri dari bilahan-bilahan perunggu. Berdasarkan kesusastraan Jawa Kuna maupun tipikal bunyi yang dimiliki, saron termasuk pada golongan ghana vadya (ideofon) dimana sumber bunyinya berasal dari badan alat musik itu sendiri. Tentang alat-alat musik Jawa Kuna ini dijelaskan oleh Ferdinandus (2001), bahwa alat musik golongan ideofon pada mulanya terdiri atas bagian tubuh manusia, misalnya bertepuk tangan yang dipergunakan sebagai pengatur ritme. Saron, dalam hal ini, termasuk pengatur ritme sekaligus pembawa melodi yang memiliki peranan dalam musik gamelan yang cukup penting.

Lepas dari peranan alat musik saron, di Indonesia sendiri sebetulnya memiliki sejarah budaya musik yang unik. Yang mana tidak terlepas dari pengaruh kedatangan orang-orang India melalui jalur perdagangan. ”Pengaruh kebudayaan India mencapai puncaknya dari pertengahan abad ke-8 sampai abad ke-11 M dimana terjadi suatu fase kreativitas yang sangat tinggi,” demikian sejarawan musik Prier Sj. menjelaskan. Sejarawan musik ini pun mengakui bahwa perkembangan musik gamelan sampai sekarang itu memiliki potensi (kualitas) kesenian yang tinggi dan tiada bandingnya di antara negara-negara lain di Asia Tenggara. Dengan kata lain, sebenarnya di tanah air kita menyimpan kekayaan seni termasuk seni musik tradisi yang, disadari atau tidak, dapat menunjukkan keluhuran suatu budaya bangsa.

Saya pikir hal ini selaras dengan apa yang pernah diwacanakan oleh Emha Ainun Nadjib, seorang budayawan, yang pernah berpendapat pada saat diskusi rutin (bulanan) tentang kondisi sosial-budaya di tengah-tengah masyarakat Maiyah (Yogyakarta). Ia mengemukakan bahwa sebenarnya sejarah Indonesia telah membuktikan kalau para pendahulu kita itu “sakti-sakti”. Ini bisa dibuktikan dengan tokoh-tokoh, seniman berikut peninggalan karya seni dan nilai kearifan budaya tradisinya. Prinsip ‘gotong-royong’ misalnya, prinsip ini pun dapat kita temukan dalam budaya musik gamelan yang identik dengan permainan secara komunal, dalam istilah musik yakni secara ansambel maupun orkestra gamelan. Di mana keutuhan suatu lagu atau gendhing itu dapat terjalin atas dasar interaksi musikal, hasil olah rasa para penabuhnya yang bersinergi.

Mempelajari musik secara mendalam akan ditemukan persoalan yang kompleks. Di satu sisi ada musik sebagai ekspresi seni murni, sisi yang lain ada musik yang murni sebagai hiburan (pop), musik sebagai alat terapi psikis manusia, musik untuk pendidikan, dan lain sebagainya. Djohan (2007) seorang psikolog musik, berpendapat bahwa musik itu ada di mana-mana dalam setiap masyarakat. Baik dalam bentuk seni maupun fungsional sebagai aktivitas budaya, hasil kecerdasan manusia, yang membentuk dan mengkontrol serta menembus perilaku manusia pada semua tatanan.

Ditinjau dari sudut psikologi, musik sedikit-banyak ternyata dapat membantu atau memberi pengaruh pada perilaku positif manusia. Salah satu misalnya musik itu dapat menjadi penyalur emosi positif. Jadi wajar saja ketika orang-orang asing banyak berdatangan dan mau belajar musik gamelan sering ditemukan kesamaan bahkan sering pula dinilai—istilah Emha, luwih njawani timbangane wong Jowo dewe—dalam keseharian perilakunya, yang konon, berwatak dan berperilaku halus. Boleh jadi itu semua efek dari pelajaran nabuh musik gamelan.

Sebagai masyarakat yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai kearifan seni dan budayanya sendiri. Semestinya kita bisa lebih saling hormat-menghormati (teposelira) atas keberagaman kekayaan seni dan budaya, perbedaan pendapat, suku (ras, etnisitas), agama, maupun paham aliran atau kelompok apa saja. Sehingga pada akhirnya ditemukan titik sinergi yang dapat membangun jalinan kebersamaan selaras nan indah. Sebagaimana jargon ‘Bhineka Tunggal Ika’ itu bagaimana benar-benar dapat diterapkan. Dan bersyukur apabila dapat menjadi masyarakat panutan bagi bangsa lain. Bukannya menjadi masyarakat puritan yang memiliki “hobi bertengkar” dalam pergulatan arena apa saja yang membuat kesan negatif dan fals. Semoga saja.

Belajar dari kunang-kunang itu

Tulisan ini dibuat saat malam. Ketika langit mula-mulanya membias warna jingga pertanda cahya matahari yang akan menghilang. Kemudian putaran waktu penghujung senja tergantikan oleh malam. Malam hari yang selalu saja datang dengan tiba-tiba. Ya, di malam hari, selain katak, kelelawar, jangkrik, coro, kecoa, nyamuk, tentunya kita juga tidak asing dengan serangga kunang-kunang. Serangga kunang-kunang di malam hari. Apakah yang terlintas dalam pikiran kita ketika melihat serangga yang lazimnya disebut dengan kunang-kunang?

Pada mulanya mungkin yang terbersit dalam benak kita adalah kerlip cahayanya yang hijau. Selanjutnya kalau mau kita telusuri, kunang-kunang juga hidup secara bergerombol dengan banyak kawannya. Ia tampak begitu rukun dengan kawan-kawannya. Dimana satu sama lain saling memancarkan kerlip cahaya dari tubuhnya. Ia pun kemudian terbang di antara semak belukar, di antara ilalang dan sawah-sawah tumbuhan padi, dan mungkin akan terbang ke mana pun ia suka.

Sepertinya jenis binatang serangga ini memang memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri daripada binatang serangga-serangga lainnya. Kehadirannya seakan membawa keuntungan bagi keadaan di sekitarnya. Sebab di samping pancaran kerlip cahayanya yang menambah keindahan lanskap malam, kunang-kunang mungkin juga bisa memberi manfaat bagi sekawanan semut yang hendak pulang, tetapi kemalaman. Dan tiba-tiba nyasar di antara ilalang. Sehingga dari pancaran kerlip-kerlip cahayanya itu, ia dapat memberi penerangan bagi sekawanan semut yang sial tadi. Ini hubungan antara binatang dengan binatang. Nah, pertanyaan yang timbul kemudian bagaimanakah hubungan binatang kunang-kunang dengan manusia?

Coba sekarang kita bandingkan kunang-kunang dengan nyamuk, atau lalat, atau coro. Tentunya kunang-kunang jauh lebih bermanfaat. Hal ini bukan berarti hendak merendahkan martabat nyamuk, lalat atau coro. Tetapi pada kenyataannya kunang-kunang memang lebih bermanfaat, dan mungkin saja kita dapat mengambil pelajaran darinya. Sekarang kalau nyamuk senang menghisap darah manusia dan dapat menimbulkan penyakit demam berdarah, maka kunang-kunang tidak. Kalau lalat senang hinggap pada makanan kita, yang masih juga menyebabkan penyakit, maka kunang-kunang alpa. Kalau coro dapat menyebabkan seseorang menjadi phobia, maka kunang-kunang juga tidak senang tuh melakukannya. Adakah seseorang yang phobia dengan kunang-kunang? Sepertinya tidak ada.

Selain itu kunang-kunang memberi keuntungan lainnya bagi manusia sebab ia bisa menjadi inspirasi bagi manusia, seniman misalnya. Bukankah ia dapat pula menjadi objek karya seni? Ia sangat mungkin menjadi inspirasi bagi seorang seniman. Atau malah bisa jadi, penciptaan lampu senter dan serbuk fosfor itu pun awalnya juga terinspirasi oleh cahaya hijau kunang-kunang.

Sampai di sini kita akan melompat pada hal-ihwal kepercayaan masyarakat kita mengenai asal-muasal kunang-kunang. Mungkin kita pernah mendengar kepercayaan masyarakat kita yang menganggap bahwa kunang-kunang berasal dari kukunya orang mati. Benarkah kunang-kunang itu berasal dari kuku orang mati?