Senin, 28 Desember 2009

sebatang korek kayu di kerah usang

sebatang korek kayu terselip di kerah usang
pada kemeja hitam tergulung diufuk barat
senja melipat jingga di antara megamega
berdiri pada batu terhempas urai mahkota

nyala sudut api bergoyang menari-nari
dipermainkan angin, menggantung lentera

jeda

sebatang korek kayu terselip di kerah usang
di antara karang matamata menyorot biru samudra
kaki berlari menyusuri butirbutir pasir

tak takut amuk badai yang siap menerpa,
tiada menggigil oleh kencang angin
kau menentang badai teluk samudra pasai

mencari palungpalung pada kolong malam
dengan lentera di tangan yang bersimbah
darah, menantang aliran raga gelora sukma

apa namanya jika bukan: percikan
rasa cinta antar sesama, menyalalah!

des 2009

Sabtu, 26 Desember 2009

seruling di telaga sunyi

pak tua bercaping duduk di atas batu
di antara bukit-bukit belantara sunyi
kusyuk mendendang syahdu

ikan pun menari dalam telaga
diiringi bunyi seruling pak tua
penghuni sekitar telaga

angrek tak ingin menyapa sesiapa
setelah bertengkar dengan pohon jambu

angin yang tak kuasa tersipu malu
bersembunyi muka di balik daun
tapi angin sanggup membawanya pergi
lantunan seruling ke segala penjuru

hingga nada berjumpa dengan kupu-kupu
yang hinggap pada bunga berwarna ungu

keduanya terkesima
pada bunyi seruling itu
yang dibawa pergi angin

melewati semak-semak belukar
merambat sampai ke akar-akar
dan sampailah ke telinga mereka
dan yang buat kembali bersapa

des 2009

sumbergambar: telaga-sunyi.blogspot.com

Rabu, 23 Desember 2009

Dua Jam bersama Djoko Pekik

Kami selayaknya berada dalam galeri saat pameran seni rupa berlangsung saja, ketika kami—saya dan kawan-kawan peserta kelas Aksara—mendapat kesempatan berkunjung ke studio pelukis kawakan: Djoko Pekik, pada hari Minggu, 15 November 2009 yang lalu. Dengan senang hati kami berangkat dari Patehan Tengah menuju Bantul. Dan tiba di rumah kediaman Pak Pekik menjelang ashar.

Halaman rumah kediamannya cukup luas, jauh dari hiruk-pikuk bising seperti di kota. Di situ suasananya berkesan teduh, nyaman, dan asri sebab pepohonan juga terlihat amat rimbun. Sebelum memasuki area utama di sekitar rumahnya terdapat lorong-lorong berpagar bambu. Jarak beberapa meter dari rumah induk terdapat gapura bertuliskan ‘Kiai Lampor’. Entah apa maksud dari tulisan itu. Dan sungai mengalir cukup deras di pinggir halaman rumahnya.

Beliau menyambut hangat ketika kami tiba di sana. Tampilan gaya yang sepertinya sudah menjadi ciri khas, setelan baju putih polos dipadukan dengan celana kombor hitam ala Warok, terlihat begitu serasi. Setelahnya pak Pekik mempersilahkan kami duduk di beranda ruangan yang terdapat seperangkat alat musik gamelan di dalamnya. Kami bercengkrama di situ beberapa saat sebelum masuk ke studio lukisnya.

Lalu Ferial yang supel, dengan gaya akrabnya membuka percakapan awal. Dia menjelaskan maksud kedatangan kami dalam berkunjung ke rumah Pak Pekik. Bahwa kami datang atas salah satu program IVAA-Aksara (creative arts writing club) ke studio seniman. Pak Pekik mengangguk-anggukkan kepala coba memahami penjelasan itu, dan sesekali tangan kanan menyisir-nyisir jenggotnya yang panjang memutih. Beliau membuka percakapan dengan bertanya kepada kami, ”mengapa menulis, bukankah penulis sudah banyak?” katanya.

Suasana menjadi hening sesaat ketika Pak Pekik mengeluarkan pertanyaan itu. Bagi saya, pertanyaan mendasar tersebut penting. Sebab saya pikir semua orang bisa saja menulis, tetapi apakah semua tulisan dapat dengan mudah dipahami pembacanya? Soal penulis sudah banyak itu memang benar. Tapi tidak semuanya dari banyak penulis bisa menjanjikan pemahaman terhadap pembaca.

Jadi singkatnya mengapa menulis, karena, ingin menyampaikan suatu gagasan lewat tulisan, dengan cara penyampaian yang beragam. Ada persoalan rumit dengan penyampaian sederhana. Ada pula persoalan sederhana tetapi disampaikan dengan rumit. Ya, ini sekadar jawaban saya atas pertanyaan pak Pekik yang pada waktu itu tidak tersampaikan. Selanjutnya mari kita lanjutkan cerita di dalam studio lukis Pak Pekik.

Studio Lukis Djoko Pekik
Di sela-sela obrolan dengan Pak Pekik pada ruangan tadi, tiba-tiba beliau kedatangan tamu lain. Entah siapa laki-laki paruh baya yang ingin menemuinya itu. Sehingga kami pun dipersilahkan masuk ke dalam studio lukis, sementara beliau menerima tamu barunya. Kami berhamburan masuk ke studio dan melihat karya-karya lukis Pak Pekik. Karya lukis yang ada dalam studionya banyak. Beragam tema gambar dan ukuran di pajang pada dinding ruang lukisannya yang menjorok di bawah (basement) rumah induk.

Pertama kali masuk dalam ruangan ini terdapat lukisan yang ukurannya sangat besar. Lukisan bergambar cerobong merah dengan asap membumbung tinggi ke udara dan di sebelahnya ada mobil pemadam kebakaran ditata berdekatan dengan lukisan berukuran sangat besar itu. Di sebelahnya lagi terdapat lukisan bergambar Keraton Yogyakarta pada malam hari. Seingat saya pada tahun dua ribu, beliau mengaku lukisan tersebut dilukisnya pada saat malam itu juga. Angka dua ribu dilukisnya tepat di atas bangunan Keraton.

Pak Pekik sudah mengahampiri kami lagi. Mungkin tamunya tadi sudah pulang. Lalu beliau duduk di kursi yang sudah tersedia di situ. Tanpa dikomando kami pun akhirnya kembali bercengkrama. Bertanya tentang ini-itu seputar pengalaman beliau melukis. Dalam obrolan tersebut Pak Pekik mengaku tentang lukisan Keraton pada malam hari tadi. Beberapa hal lagi yang saya ingat dalam percakapan ini ialah beliau sempat bercerita tentang lukisan yang berjudul ‘Babi Api Kawin’, sebuah karya lukis yang sempat melambungkan namanya.

Djoko Pekik dan Karya Kemanusiaan
”Celeng itu kan simbol kekuasaan (yang rakus, serakah, dan tamak). Jadi wajar saja ketika sistem kekuasaan mendapat suatu kritikan” katanya. Dan mungkin saja simbol celeng dalam lukisan berjudul ‘Babi Api Kawin’ itu ialah wujud ekspresi kritiknya terhadap pemerintahan yang berkuasa. Asumsi ini menjadi kuat ketika saya bertanya apa yang diperjuangkan oleh beliau dalam melukis, dan Pak Pekik menjawab: keadilan.

Barangkali kalau dalam dunia kepenulisan ada Pramoedya Ananta Toer, maka di dunia pelukis ada Djoko Pekik, yang konon ceritanya gencar menyuarakan rakyat kecil dalam ungkapan bahasa ekspresinya. Ekspresi mengedepankan misi kemanusiaan ini sangat terlihat pada lukisan yang berjudul ‘Tak Seorang pun Berniat Pulang Walau Mati Menanti’. Sebuah lukisan dengan latar belakang peristiwa tahun 1965.

Lukisan ini bergambar Tank militer yang hendak melindas banyak manusia di depannya. Banyak manusia tadi matanya ditutup dengan kain warna merah. Berkesan penindasan sekali. Sebab dalam lukisan ini tergambar pula para militer itu sedang menendang-nendang beberapa manusia di situ.

Di antara banyak manusia yang saling berpegangan satu sama lain, dan tertindas, Pak Pekik berada pada pangkal paling ujung. Tangannya memegang punggung manusia yang berada di depannya, begitu pula seterusnya. Seperti sedang menyalurkan energi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

Ya, ini sepenggal cerita dari lukisan Pak Pekik yang saya ingat dan perhatikan kala itu. Kami sempat terlibat dalam pembicaraan yang hangat di dalam studio lukis pak Pekik. Tetapi sayang waktu yang dimiliki oleh beliau tidak banyak. Sehingga beliau memutuskan, ”kalau tidak ada yang ditanyakan lagi pada saya berarti pertemuan kita sudahi saja sampai di sini, saya mau istiharat.” Katanya.

Dan kami pun mohon diri meninggalkan rumah kediamannya menjelang maghrib. Bersamaan dengan kami meninggalkan rumah Djoko Pekik ini, cerita saya mengenai kunjungan ke rumahnya berakhir juga, ketika adzan maghrib itu berkumandang lagi.

Jumat, 18 Desember 2009

ketika aksara dan pena menari

ia tampak begitu aneh
jarinya lunglai bergerak pandai
padahal sebetulnya, ia tak berjari sungguhan
ia tampak begitu aneh
tubuhnya gemulai melenggang kangkung
padahal sebetulnya, ia tak bertubuh sungguhan
ia tampak begitu aneh
menandak-nandak di atas singgasananya, bebas

melangkah. melompat-lompat. merunut.

dilumatnya wajah sang pemirsa,
dan ketika itu pula.
dan ketika mata sayu yang luap
dan ketika memantulkan bayang-bayang
di bilik sebuah cermin, inikah sebetulnya?

ia tengah bergulat dengan alam batin dan pikiran,
ketakterdugaan

mata pena pun melarut dalam ruah aksara

april 2008

sumber gambar: faridwajdiarsya.wordpress.com

ruparupa kata


kepada tujuh sembilan tujuh di ruang sempit itu
ruangmu penuh bayang-bayang mencengangkan
bayang-bayang tumpah pada kertas, lalu
kau perluas pada kanvas

apa yang kau kerjakan, saat ini, katamu
”aku tetap berada pada rimba kata,
seperti kau yang berada dalam rimba rupa,” kataku

katamu rupa, rupaku kata

kita tersesat
pada labirin kebenaran yang tercipta dengan
sendirinya menggali warna makna

melesat-lesat di ruangan hampa
dan bebas kita tafsirkan guna, menjadi
maka menjadilah

seingatku rama pernah menjelma pelepah pisang
sedang mencari sintakah ia?
seingatku kerbau biru terkapar di sebelah wisanggeni,
bercaping dan sebilah arit dan setongkat pacul
siap merajang sawah-sawah
seingatku ornamen berserakan penuh
menapaki jejak
kisah para wayang

sept 2009
*sumber gambar: http://didikw797art.blogspot.com

sajak tentang kuda

di luar, aku mendengar derap kaki kuda
ritmis kaki kuda yang gontai, gemulai
kuda hitam melangkah tenang dikemudi joki



namun dalam ketenangan yang konstan
kakinya mampu menerkam-terjang

menerkam hasrat hijau yang menari-nari
menerjang hasrat hijau yang meluap-luap
dalam setiap laku, untaian kata-kata itu

lalu kuda pun diam, tertunduk
tak ingin bersapa dengan
kencang angin tak ingin berak di antara
bening air tak ingin berlagak
menyulut api yang diam-diam, berteriak
mengharap bisa berarti!

tapi kuda tak mengenal itu sebab
ia tahu bagaimana taat pada sang Majikan


des 2009

*sumber gambar:http://didikw797art.blogspot.com

Rabu, 02 Desember 2009

Kunang-kunang = Kuku Orang Mati (?)

“Ulatna kang nganti bisane kepangguh, galedehan kang sayekti,
Talitinen awya kleru, larasen sakjeroning ati, tumanggap dimen tumanggon”

Kutipan di atas ialah bunyi dari salah satu bait suluk Serat Sabda Jati. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia maka penggalan bait itu kurang-lebih menjadi demikian: carilah hingga ketemu, pandanglah dengan seksama, telitilah jangan sampai salah, endapkanlah dalam hati, agar benar menanggapi. Penggalan bait padat berisi petuah yang elok nan bijak ini sebagai landasan berpikir dalam memecahkan permasalahan di sini, untuk menelusuri suatu anggapan yang beredar pada sebagian masyarakat, Jawa khususnya.

Kita tahu dalam kebudayaan masyarakat Jawa, berupa warisan cerita lama, legenda, ataupun mitos itu didominasi oleh tradisi lisan daripada tradisi tulisannya. Sehingga, bagi saya, masih terasa sulit mencari literatur mengenai beberapa mitos dalam pandangan kebudayaan masyarakat tersebut.

Padahal mitos menurut Susanto (1987) adalah bahasa untuk diketahui dan mempunyai arti secara tersirat. Kemudian berfungsi menyadarkan manusia tentang adanya kekuatan-kekuatan ajaib di dunia lain. Memberi jaminan bagi masa kini, memberikan pengetahuan tentang dunia, dan sebagai perantara manusia dengan daya-daya kekuatan alam.

Sebagai misal mitos yang terdapat dalam kebudayaan Jawa ialah tentang dewa-dewa yang kita kenal dengan tokoh punakawan dalam cerita pewayangan; tentang Ratu Laut Selatan; tentang peristiwa mencari pesugihan yang lelakunya dikenal dengan memelihara tuyul; tentang fenomena babi ngepet; fenomena alam yang dapat memberi pertanda baik atau buruk atas kehadiran ular sawah maupun burung elang; sampai pada akhirnya terbersit dalam benak mengenai cerita kunang-kunang yang berasal dari kuku orang mati.

Lantas permasalahannya mengapa kunang-kunang dianggap sebagai jelmaan kuku orang mati oleh sebagian orang tua pada masyarakat tersebut?

Tahayul versus Kenyataan

Permasalahan ini menghantui benak saya yang sudah terlanjur penasaran. Sehingga, sore hari waktu itu, memutuskan untuk mencari keterangan dari beberapa orang. Berbekal pena dan buku catatan kecil, saya kayuh sepeda ke arah Selatan. Meniti sepanjang pematang sawah, di situ, para petani sedang sibuk memanen padi. Saya berhenti di daerah pedusunan bernama Widoro.

Secara geografis Dusun Widoro berada masuk ke dalam, agak jauh dari arah Timur Jalan Parangtritis. Tepatnya terletak di Kelurahan Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Lalu menghampiri lelaki paruh baya yang waktu itu sedang menggembalakan kambing.

Penggembala kambing bernama Pak Sarjono (45) menjadi informan pertama. Berdalih meminjam korek api dan menyulut rokok, saya menghampiri beliau yang sedang duduk di bawah pohon kelapa. Singkatnya, Pak Sarjono mengatakan bahwa di sawah-sawah sekitar dusun Widoro masih terdapat binatang kunang-kunang. Beliau mengaku di waktu kecil dulu mendapat larangan menangkap kunang-kunang dengan alasan berasal dari kuku orang mati juga.

Dan hal itu dianggapnya hanya cerita tahayul belaka. ”Orang tua zaman dulu melarang anak-anaknya menangkap kunang-kunang sebetulnya karena baunya ndak enak to, mas, makanya menakut-nakuti kalau kunang-kunang itu jelmaan kuku orang mati,” katanya. Dengan nada tegas Pak Sarjono melanjutkan pendapat, ”kadang-kadang banyak orang tua beranggapan begitu juga karena hanya ikut-ikutan (elu-elu) berpendapat tanpa mengetahui secara pasti pokok persoalan sebenarnya”.

Berbeda dengan pendapat Pak Sarjono ini, sebagai informan kedua ialah mbah Winar (70), yang kala itu sedang asik memperhatikan bebek gembalaannya sedang berburu makanan. Ketika saya datang menghampiri, Mbah Winar membenahi capingnya seraya tersenyum menunjukkan wajah bersahabat. Beliau berpendapat bahwa kunang-kunang ialah kembange jagat (bunga keindahan alam).

Beliau juga mengaku bersama teman-teman di masa kecilnya suka bermain memanfaatkan binatang kunang-kunang. ”Waktu kecil dulu, di mana masih belum ada listrik, saya bersama teman-teman sering memasukkan kunang-kunang ke dalam gendhul (botol) sebagai penerangan untuk mencari jangkrik,” katanya.

Sebetulnya Mbah Winar sendiri memiliki anggapan bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati itu berdasarkan kasunyatan (kenyataan) dari sucinya perkataan orang-orang jaman dulu. Akan tetapi menurutnya kita boleh percaya atau boleh juga tidak percaya.

”Orang-orang dulu itu kan sakti-sakti, to? Boleh jadi ucapannya bisa benar. Lha kalau di zaman sekarang kan orang-orangnya sudah tidak bersih lagi. Lihat saja orang-orang pemerintahan kita itu, senang melakukan kebohongan, iya to? Zaman sekarang banyak manusia korup, mas.” Katanya dengan wajah polos tanpa beban. Mbah Winar seakan ingin berkata kepada kita bahwa soal cerita warisan orang tua itu boleh saja percaya atau tidak, tetapi jangan melupakan pesan yang terkandung di sebalik ceritanya.

Satu lagi informan ketiga bernama Mbah Yoso Utomo (67). Beliau mengaku tidak tahu-menahu tentang perkara ini. Namun yang unik dalam pendapat Mbah Yoso di sini ialah keberadaan binatang kunang-kunang, atau bahkan binatang lain, sekarang tidak sebanyak dulu. Menurutnya pertumbuhan binatang yang ada di alam itu bisa dikatakan menyurut. Karena ulah manusia yang suka memburu, dan membasmi dengan racun kimia.

Relevansinya Kini
Berdasarkan penelitian beberapa ilmuwan tentang alam, ternyata kerlip cahaya atas tubuh kunang-kunang digunakan sebagai alat komunikasi. Kunang-kunang dapat berkomunikasi dengan memberikan sinyal atau kode tertentu kepada binatang sejenisnya. Sinyal tersebut digunakan baik untuk melangsungkan reproduksi maupun untuk menghindari ancaman (survive) yang dapat membahayakan kelangsungan hidupnya, agar tidak dimangsa oleh binatang lain.

Kerlip cahaya kunang-kunang ini menjadi daya tarik bagi sebagian manusia, baik untuk kepentingan riset maupun sekadar menikmati pendar kerlip cahayanya. Karena memang kerlip kunang-kunang menawarkan keindahan tersendiri pada lanskap malam hari. Kerlip cahaya itu dikenal oleh ilmu pengetahuan dengan zat kimia bernama lusiferin. Warnanya pun beragam, ada yang hijau kekuning-kuningan, biru kehijau-hijauan sampai yang berwarna merah pucat.

Wajar jika cahaya kunang-kunang menjadi kesenangan dan ketertarikan bagi anak-anak kecil maupun manusia dewasa. Lantas apa relevansi cerita lama yang paradoks itu di tengah kemajuan peradaban modern? Bagi kebanyakan orang modern anggapan bahwa kunang-kunang itu jelmaan kuku orang mati hanya sebatas tahayul. Karena hal ini dianggap tidak masuk akal.

Logika sederhananya tentang mengapa orang tua dulu melarang menangkap kunang-kunang dan beranggapan bahwa itu jelmaan kuku orang mati mungkin untuk menakut-nakuti anak-anaknya agar tidak bermain di malam hari. Hal ini boleh jadi bisa benar. Atau, sesuai dengan informasi dari Pak Sarjono, ialah karena faktor—kunang-kunang dianggap sama dengan walang sangit—baunya ampak, tidak enak dan kebanyakan orang tua hanya ikut-ikutan berpendapat.

Dengan menakut-nakuti kunang-kunang sebagai jelmaan kuku orang mati kepada anak-anak barangkali juga untuk memberikan pendidikan sedari kecil supaya tidak mengganggu (mengeksploitasi!) ekosistem binatang yang ada pada alam. Saya pikir alasan ini yang masuk akal dan merupakan wujud kearifan di sebalik cerita yang pernah beredar pada masyarakat tersebut. Bukankah kebudayaan masyarakat Jawa notabene sering menggunakan lambang yang menunjukkan kedekatannya dengan alam?

Tetapi di tengah-tengah masyarakat dalam peradaban masyarakat saat ini sering tidak mengindahkan dan bersahabat dengan alamnya lagi. Telah banyak kasus eksploitasi alam untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok dengan alasan memajukan teknologi. Kalau pada akhirnya itu malah merugikan manusia dan alam lingkungan di sekitarnya akan menjadi tiada guna mengagung-agungkan teknologi peradaban modern saat ini.

Jadi kesimpulan atas permasalahan kunang-kunang sebagai jelmaan kuku orang mati itu memang hanya sebatas tahayul atau rekaan dari kearifan orang tua terhadap anak-anaknya di masa kecil. Itu benar. Tetapi di sebalik ketahayulannya itu ternyata menyimpan pesan. Supaya kita dapat belajar dan bisa lebih menghargai lingkungan alam sekitar.

Sebab bukankah telah banyak berita mencuat kasus eksploitasi dan kerusakan alam karena faktor ulah manusianya sendiri? Dan bukankah kunang-kunang hanya dapat hidup di tempat yang jauh dari polusi? Entahlah. Mungkin Ebit G Ade memiliki jawabannya karena selalu bertanya pada rumput yang bergoyang.


referensi bacaan


Endo Suanda, Tikungan Iblis Jitu Menutup Tahun: Kisah Sedih yang Lucu, artikel ini dimuat oleh Majalah Gong edisi107/X/2009.

Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Kanisius, 1987.

Harun Yahya, Mahluk-Mahluk Bercahya, artikel ini dimuat di salah satu situs web.