Rabu, 06 April 2011

Tak Seperti yang Kau Kira

Aku, kamu, mereka, dan kalian terlahir ke dunia sebagai lak-laki. Begitu pula aku, kamu, mereka, dan kalian terlahir ke dunia sebagai perempuan. Apakah kedua subjek ini minta untuk dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan? Tidak. Setidaknya dalam beberapa pandangan agama menyepakati itu. Semua terlahir atas kehendak Pencipta. Ini sudah saklek. Tidak bisa diganggu gugat. Nash. Jadi, maka jadilah ia. Begitu kata Sang Pencipta, dalam sebuah pemahaman yang kita yakini—aku percaya bahwa kau juga meyakininya.

Pertanyaannya, apakah Pencipta juga menciptakan persamaan dan perbedaan di antara keduanya? Iya. Baiklah, mari telusuri hal ini dari sisi persamaan terlebih dahulu. Dalam pandangan Pencipta, manusia diciptakan sama, tak peduli laki-laki atau perempuan, dia adalah sama-sama: hamba. Seorang hamba yang sama-sama memiliki potensi untuk menjadi ideal dalam menyembah. Yakni potensi untuk mencapai, derajat takwa. Masing-masing mendapat penghargaan yang sama sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.

Pada kedua hamba ini mereka juga sama-sama memiliki perjanjian untuk patuh, dan mengemban tanggung jawab atas kelahiran mereka di bumi. Dan bahkan sejak dalam rahim, kedua hamba ini sudah dibekali kemandirian dan tanggung jawab individual dalam misi kehidupannya. Bahkan Pencipta itu sendiri memuliakan keduanya, karena tanggung jawab dan kemandirian dalam menjalankan misi itu. Silahkan simak (QS: Al-Isra’ 17-70) kalau menyangsikan kalimat ini.

Tidak terkecuali dalam hal prestasi. Pencipta juga menaruh kesamaan, yakni mereka sama-sama memiliki hak untuk berprestasi. Sebab Al-Qur’an pun tidak mentolerir setiap penindasan. Lantas, masihkah ada penyangsian dalam menyikapi persamaan/k e s e t a r a a n di antara keduanya, kalau Pencipta pun sudah menggariskan hal ini?

Di mana letak, dan mengapa ada, perbedaan pada keduanya? Kalau kita menggunakan logika sederhana, pasti perbedaan mendasar pada hamba keduanya ada pada faktor anatomi biologi. Itu lumrah, dan saklek pula. Sudah tidak perlu dibahas dan dipertanyakan lagi. Tetapi adakah perbedaan selain itu, perbedaan dalam sudut yang menginti dan signifikan, di mana Pencipta itu sendiri yang membuatnya?

Kesetaraan dalam Al-Qur’an seperti yang secara singkat terurai di atas itu bisa saja disalahpahami dan mengakibatkan ketidakseimbangan alami. Sebab itu perebedaan musti ada, dan masing-masing mempunyai fungsi dan tugasnya sendiri di antara kedua hamba tersebut.

Masing-masing mempunyai sisi emosional dan kandungan kimia dalam tubuh yang mengkibatkan, kedua hamba ini saling melengkapi, setidaknya ini yang dikatakan oleh profesor/peneliti tentang kesetaraan gender.

Apa akibat penyikapan berlebihan dan disfungsi kesetaraan antara genetik laki-laki dan perempuan itu?

Hal ini sudah kita bisa lihat sendiri dengan banyaknya pasangan sesama jenis, di mana satu sama lain merasa mampu untuk menjadi laki-laki, padahal dia perempuan. Atau sebaliknya, merasa mampu menjadi perempuan padahal dia laki-laki. Bukankah ini suatu ketidakseimbangan? Apa kita mau mengikuti ketidakseimbangan ini?

Ini bukan soal superior atau inferior dari seorang laki-laki atau perempuan. Kamu sebagai perempuan berhak melakukan—tentunya masih dalam kaidah norma agama, atau adat ketimuran kita—dan aku pun juga berhak melakukan itu. Dan bahkan untuk mencapai suatu prestasi dalam misi kehidupan, kita sama-sama berhak mendapatkan itu.

Ini bukan soal aku kuat atau kamu lemah. Atau kamu kuat, dan aku lemah. Pada keduanya juga memiliki sifat kuat-lemah itu.

Dan, ini bukan soal mempertahankan atau saling menonjolkan ego masing-masing. Aku begini, kamu begitu. Kamu begini, aku begitu. Akan tetapi ini tentang bagaimana keseimbangan itu dapat terjadi.

Di mana aku meletakkan takaran prinsip menurut adat ketimuran kita, semestinya kamu mengerti bagaimana takaran prinsip itu dapat terus diseimbangkan. Pertanyaannya, apakah aku akan diam saja jika kamu menyalahi prinsip (aku bukan mencari kesalahan kamu) dan membuat takaran timbangan itu menjadi tidak seimbang? Bagiku membahas kelemahan orang lain itu adalah menyalahi prinsip adat ketimuran. Karena aku tidak mau timbangan itu jatuh tersungkur karena kesalahan prinsip adat ketimuran kita.

Sekali lagi, ini bukan soal sistem patriarki yang sudah mengakar pada ranah kebudayaan kita. Kamu berhak melakukan dan menjalankan misi kehidupan sebagaimana Pencipta akan menghargai setiap langkah hambanya yang taat.

Kuat prinsip yang menancap di kepalaku ini tentang mengungkit kelemahan seseorang, itu adalah sebuah aib yang Dia sendiri tidak menyukai bila ada orang lain yang membukanya.

Bukankah kita mendengar dan taat akan apa apa yang menjadi larangan Pencipta? Termasuk larangan membuka aib seseorang kita juga pernah mendengar, dan akan taat?

Tak peduli bahwa kamu atau orang yang bersangkutan mengatakan itu bukan aib. Tetapi pada kenyataan orang pada umumnya akan mengatakan bahwa menyalahi kodrat Ilahi itu adalah suatu aib, yang sangat tabu untuk dipamer-pamerkan kepada publik.

Setidaknya, aku mengamini hal ini.