Jumat, 07 Mei 2010

hasrat si hijau

mari menyanyi. melantunkan nada. menabuh. memetik. menggesek. meniup.
marah. sedih. senang. tenang.

terpukau. terperangah. bergejolak.
cinta. peradaban. popularitas. budaya. oase.

camp. patriarki. feminisme.

lokalitas? kemelut ekonomi-politik. agama. fisika. filosofi,
semua menjadi satu membentuk rima bergumul di nada: pengetahuan!
emosi melonjak-lonjak masa-masa gejolak eksistensi jiwa
warna hijau berkecamuk dalam magma usia muda

bergulat dalam diri ialah ‘ego, id, super-ego’
alam sadar. alam bawah sadar.
mimpi. realitas. psikologi. kosmologi.

mikro-makro realitas maya alirkan kesadaran
transformasi kata adalah sepenggal ikhtiar berdansa dengan kalimat,
gaya khas laksana astronot ilmu melesat-lesat pada permukaan organon
luapan itu meletup-letup.

letusan sinai pernah membuat Musa pingsan, kenapa? karena ego.
permukaan bumi sudah pula sesak oleh amuk samudera lepas
Nuh pun sibuk dengan layar kapal siap mengarungi bahtera

mengapa? sebab cinta! misi agung manifestasi yang terkasih
gelegar kata pun nada menjadi indah ketika telinga ini tak kunjung tuli,
dengarkan tuan raja sedang meletuskan libido menggapai klimaks, orgasme!

hai cinta, kau yang berada di antara iblis dan malaikat
kau bukan iblis, karena Dajjal tak bernurani, ia tampil sebagai perusuh!
kau bukan malaikat, karena Jibril tak bernafsu, ia tampil sebagai pesuruh!

sedang kau tampil sebagai peluluh-lantak dari perangkat lunak
dan dapat bergemuruh meski harus berkumuh-kumuh
jadi mengapa harus ribut dengan kursi dan berebut identitas diri

kalau pada akhirnya kita pun, mati
bangun! buat sesuatu arti
se-kali-dua-kali-dan-tiga-kali, berkali-kali
sudah itu buang, jangan diungkit-ungkit lagi



sumber gambar:www.vega.org.uk

Kamis, 04 Februari 2010

Tabuh Perkusi

Silaturahmi Para Penabuh Perkusi

Panggung Jagongan Wagen menampilkan beberapa reportoar musik perkusi, yang digelar pada hari Minggu, 31 Januari 2010, di arena pertunjukan Yayasan Bagong Kussudiarjo, wilayah daerah Kasihan, Bantul, DIY.

Semangat anak-anak muda penabuh instrumen ritmikal ini begitu menggelora. Mereka berunjuk kemampuan dalam memainkan instrumen masing-masing pada malam hari waktu itu. Panggung program acara Jagongan Wagen mereka gunakan sebagai ajang menjalin kembali hubungan silaturahmi antar para penabuh perkusi, di Jogja khususnya.
Pertemuan kembali antara para penabuh inilah yang menjadi konsep pertunjukan bertajuk ‘Tabuh Perkusi’.

Bagaimana saya mengetahui latar belakang konsepnya? Jauh sebelum acara ini berlangsung, beberapa konseptor pementasan acara sempat membicarakannya di rumah singgah Art Music Today (di mana saya termasuk orang yang terlibat dalam kegiatan Art Music Today).

Mereka bernostalgia dalam satu ruang pertemuan untuk kembali berproses kreatif melalui panggung musik perkusi. Saya pikir di sini letak peranan ekstra musikal yang dapat mereka pertunjukkan nilai positifnya. Bahwa musik selain mempunyai kepentingan ekspresi individual ataupun kolektif, peranan musik juga dapat menjadi jejaring untuk mempererat hubungan antar personal maupun sosial.

Ini mereka tunjukkan dengan kembali berproses secara kolektif melalui media musik yang hendak ditampilkan. Yang sanggup menarik penonton hingga kurang lebih sekitar lima ratusan orang. Gegap gempita suara konstan ritme perkusif ini seperti menghipnotis penontonnya. Dengan tampilan atraktif para penyajinya pada acara ‘Tabuh Perkusi’ boleh dikatakan sukses.

Dan sudah tentu pesan yang ingin disampaikan pada pertunjukan mereka ialah merangsang semangat musisi perkusi muda lainnya, agar terus berproses setelah diadakan pertemuan kembali antar musisi itu. Cukup sekian, lain kali disambung lagi. Bravo kawankawan! Salam.

senggama kata kita

tiga baris peluru kau bidik pada rongga senapan pistolmu

”tak satu pun kerlingan kunangkunang menarik pikiranku
kecuali kau berada diantaranya, mendapati cintamu
tersungkur aku di surga dibelai polah rindu yang tak tertata”



pelanpelan kukeluarkan belati dari kulit pembungkusnya

”satu kunangkunang tejerat malam
limbung ia lalu bertengger pada
lentik jari manismu, sujud sukur ia
ketika kau menyematkan cinta di antara
pergelangan tangan itu”

ini penanda persenggamaan senjata kita masih berlaku

”tabik. tabik.”

katamu

”liukan tubuhku kini telah digenggamanmu
kunangkunang ratusan ribu menjadi sumpah
yang kau ukir dengan darah di ujung belatimu
peluruku masih tersimpan rapi”

kataku menimpali,

semoga. semoga.

persetubuhan katakata dari kedua senjata kita
di antara peluru dan belati kelak akan berkilatan
sinar makna yang beranak pinak mantra cahaya

seperti kerlipan kunangkunang yang senantiasa
setia pada malam

seperti siraman matahari yang senantiasa
setia menerawang siang


feb 2010

sumber gambar 1: bp1.blogger.com
sumber gambar 2: www.sfusd.k12

Jumat, 22 Januari 2010

Musik dalam Dunia Pendidikan

Di dalam pendidikan, musik menduduki posisi tertinggi karena tidak ada satu pun disiplin yang dapat merasuk ke dalam jiwa dan menyertai dengan kemampuan bertahap melebihi irama dan harmoni” Plato (427-347 SM).

Lebih dari sekadar hiburan, keberadaan musik telah lama menjadi area penting dalam dunia pendidikan.

Berkaitan dengan disiplin ilmu dalam pendidikan kualitas sumber daya manusia, tulisan ini akan berupaya mengurai bagaimana hubungan musik dalam dunia pendidikan.

Apakah musik itu?
Kendati definisi musik masih menjadi bahan perdebatan ahli, namun Suka Hardjana, seorang musikolog, telah berupaya menjelaskan. Pendapatnya mengenai musik secara etimologi ialah perkataan musik dalam Bahasa Yunani: m u s i k e.

Perkataan ini berasal dari kata m u s e m u s e, yakni sembilan Dewa-dewi Yunani yang berada di bawah Dewa Apollo. Dewa yang melindungi seni dan ilmu pengetahuan.

Dalam mitologi Yunani orang pun percaya bahwa musik adalah suatu keindahan yang terjadinya berasal dari kemurahan hati para Dewa. Sebagai hadiah kepada manusia, yang biasa disebut atau dikenal dengan bakat. Musik juga terjadi oleh karena akal budi manusia dalam bentuk teori dan ide yang konsepsional dalam setiap kebudayaan masyarakat.

Sedangkan secara definitif, musik adalah ilmu atau seni menyusun nada dan suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan.

Di sini dapat kita cermati penggalan kalimat 'ilmu atau seni menyusun nada dan suara' yang berarti diperlukan pembelajaran bahkan pendidikan untuk memahami nada atau suara tersebut.

Pentingnya Pendidikan Musik
Musik, dalam kategori musik seni tentu berbeda dengan seni musik pop. Sehingga masyarakat penikmat musik pop ini agaknya seringkali dibuat mabuk kepayang. Bukankah sudah menjadi hal biasa dalam pandangan masyarakat kita yang lebih tertarik dengan musik pop (band) daripada mengapresiasi pertunjukan musik seni, baik itu tradisi seni musik klasik Barat ataupun musik etnis yang ada dalam Kebudayaan Nusantara?

Bahkan anak-anak usia 7-12 tahun jaman sekarang ini lebih pandai menghapal lagunya Ratu, Nidji, Radja, ST 12, dll., daripada menyanyikan lagu 'Ilir-ilir', 'Gundhul-gundhul Pacul', 'Naik Delman', 'Becak Fantasi' apalagi 'Bagimu Negeri' maupun 'Indonesia Pusaka'. Di sinilah letak pentingnya keberadaan pendidikan musik, yakni untuk mengantisipasi keseragaman selera masyarakat dalam kebudayaan manusia yang sedang berlangsung.

Dan melalui pendidikan musik bagaimana dapat mencegah budaya instan ataupun pendewasaan terlalu dini, yang mudah dikonsumsi oleh anak-anak. Dengan seringnya mereka menyanyikan lagu bertema dilema cinta orang dewasa akibat pengkonsumsian raksasa melalui produk virus televisi.

Dengan membanjirnya musik pop di manapun dan kapanpun membuat pendengar menjadi infantil, pasif dan bersikap afirmatif. Daya apresiasi tumpul dan cenderung menikmati musik secara hedonis, tutur Theodor W. Adorno. Persoalan tersebut jelas berlawanan dengan konsep idealisasi pendidikan. Musik di dalam pendidikan adalah musik yang dapat memberi pembinaan pada peserta didiknya.

Barangkali juga perlu diketahui bersama bahwa pendidikan musik itu bukan melulu berbicara mengenai bagaimana cara memainkan instrumen dengan piawai. Dapat memainkan alat musik secara piawai memang salah satu tujuan dalam pembelajaran musik, akan tetapi bukan itu yang terpenting. Dasar dari pendidikan musik adalah bagaimana penanaman rasa musikal pada peserta didik dapat tercapai.

Rasa musikal itu dapat diartikan dengan meningkatnya kepekaan rasa keindahan pada individu, lahirnya sikap toleransi (tepasarira) yang tinggi, mudah dalam bekerja-sama (ensembleship), dapat meningkatkan ekspresi individual sekaligus bagaimana meningkatkan rasa percaya diri personal itu dapat tercapai.

Maka dari itu pendidikan musik layak diterapkan sejak jenjang pendidikan dasar dengan benar. Dan bukan sebagai kurikulum pelengkap yang terkesan menjadi “barang eksklusif”. Minimal siswa—apalagi guru, tidak buta sama sekali dengan nada berikut notasinya. Guru musik yang baik itu guru yang dapat menanamkan rasa penghayatan pada siswa dari lagu notabene banyak mengandung kualitas nilai yang bermoral.

Kenapa pendidikan musik menjadi penting untuk diterapkan pada jenjang pendidikan dasar sekalipun?

“Pelajaran gending tidak hanya diperlukan untuk mencari pengetahuan serta kebisaan memainkan gending saja, tetapi juga untuk membangkitkan hidup kebatinan. Karena gending selalu menuntun rasa berirama, menghidupkan rasa keindahan, mengheningkan rasa kesusilaan.

Di tanah Barat para pemuka agama dan gereja mengetrapkan daya kekuatan gending, sebagai pembuka rasa kebatinan, serta sebagai pengasah budi yang menjadi dasar tajamnya cipta, halusnya rasa dan kuatnya karsa,” demikian penjelasan bapak pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara.

Manfaat Pendidikan Musik
Banyak manfaat yang bisa didapat dari pelajaran musik terkait dalam dunia pendidikan. Terlepas musik itu berakar dari budaya manapun hendaknya kita bukan lalu menampik begitu saja, kalau itu baik untuk kemajuan kualitas sumber daya manusianya, kenapa tidak dikembangkan. Karena pada dasarnya musik itu bersifat universal. Semua orang berhak menikmati bahkan kalau perlu ikut merasakan manfaat musik.

Hongaria memiliki bapak pendidikan berjiwa nasionalis cukup tinggi seperti Ki Hadjar, ialah Zoltan Kodaly. Metode pendidikan musik Kodaly bertujuan untuk memajukan rakyatnya. Menurutnya, literatur musik dalam pendidikan adalah sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang. Ia berpendapat dasar pendidikan dari pelajaran musik yakni bernyanyi dengan benar, tidak sumbang.

Selain sebagai bentuk pengajaran musik, metode Kodaly terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui nyanyian. Lebih dari itu, Howard Gardner (1983), seorang psikolog kognitif dari universitas Harvard yang berhasil mengembangkan teori kecerdasan jamak (multiple intelligence) berpendapat, inteligensi musik mungkin lebih banyak mengandung aspek emosi, spiritual dan budaya daripada inteligensi lainnya.

Tetapi yang terpenting musik dapat membantu sebagian orang untuk mengorganisir cara berpikir dan bekerja sehinggga membantu mereka berkembang dalam hal matematika, bahasa, dan kemampuan spasial. Tutur Gardner dengan nada penuh keyakinan. Pernyataan tersebut mungkin dapat mempertegas betapa berartinya peranan musik dalam dunia pendidikan.

Apalagi dalam perkembangan informasi mutakhir saat ini musik menempati salah satu ikon penting sebagai pengkonsumsian massa dalam peradaban dunia (selain film dan sepak bola). Dan dapat menjadi penyambung rasa antar berbagai negara, sebagai diplomasi dalam kebudayaan bangsa.

Oleh sebab itu hal yang bukan mustahil jika pemerintah pada sektor Pendidikan dan Kebudayaan bisa lebih memperhatikan. Guna membenahi pendidikan musik di negeri ini. Khususnya para pengembang kurikulum pelajaran seni musik di lini pendidikan dasar. Sebab tentunya kita dapat mengambil pelajaran dari negara-negara maju yang menempatkan kurikulum musik sejajar dengan disiplin ilmu yang lain.

Seperti misalnya: pendidikan, ilmu pengetahuan, seni berikut teknologi itu berjalan seiring dengan kehidupan musik mereka yang diterapkan dengan baik dan benar sejak pendidikan dasar. Dengan demikian harapan Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud. Mencetak generasi penerus yang unggul dan berkualitas. Bukan generasi snob yang mudah terbawa arus dari luar, dan gemar tawuran. Sekian.

Referensi Bacaan
Hardjana. Estetika Musik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Tidak diperjual-belikan. 1983.

Djohan. Psikologi Musik. Buku Baik. Yogyakarta. 2003.

Sumarsam. Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003.

Budiarto. Musik Modern dan Ideologi Pasar. Tarawang Press. Yogyakarta. 2001.

sumber gambar: bee-piano.blogspot.com

Sabtu, 16 Januari 2010

imaji pastorale

hidung ini teramat gatal
untuk menarik pelatuk
dari lubang senapan angin
bertubitubi biji peluru membidik
satu titik dalam lingkaran, ketepatan!

seperti mata lensa pada sebuah kamera
mencaricari tiap sudut agar kemudian
tersaji sebuah gambaran peristiwa

apakah sudah tepat kau membidikkannya?

seperti putih kanvas yang sama sekali
belum tergores kuas terendapkan imaji
adakah warna apa yang hendak kaupilih

hingga mendapati torehan pastorale?

sementara itu prenjak asik mengumpulkan
rantingranting ilalang, ia lalulalang dari
atas beringin kemudian turun ke tanah lapang

rerumputan, membuat suatu hunian
hei, jangan kau bidik senapan anginmu
pada prenjak itu

biarkan ia hidup, seperti kita
yang juga mendamba, bahagia

jan 2010

sumber gambar: kfk.kompas.com

karat belati

mengapa pula aku khawatir
belati itu akan berkarat
sebab bukankah kadar emas
juga memiliki karat?

mengapa pula aku khawatir
belati itu akan berkarat
sebab bukankah bila menikam
lebih menyakitkan, sayang?

hatihati dengan tikaman
belati yang berkarat, sekalipun
racunnya dari karatkarat siap
menggerogoti riak tubuhmu

yang paling dalam

jan 2010

sumber gambar: antik-bendabertuah.blogspot.com

Kamis, 14 Januari 2010

terus mainkan, ran

kita masih bermain dengan kata
dan bukankah kita hanya bermain?
mengapa serius amat menanggapi

bahkan aku tak mau pulang sebab permainan
ini amat menyenangkan, mainkan ran, mainkan
aku suka bermain denganmu, hari ini

di alam maya ini

sungguh,

Tuhan pun tersenyum dengan ketulusan doamu

jan 2010

Senin, 11 Januari 2010

luka yang tak sebanding

: rani

bukan, sore hari ini tak seperti
yang pernah mereka bayangkan
berindahindah dengan jingga, ran

sebab senja datang bersama hujan
dan angin menghempas daun kering

sebelum pada akhirnya jatuh ke tanah
dengan sebongkah luka menghunjam
di mana kita sering menunjukkannya

dengan berpurapura riang padahal
aku tak yakin hari ini kau bersuka ria

sebab rasa nyinyir dalam luka tak tertutupi
oleh angin yang berhembus dari arah utara
ketika tibatiba malam kian bersenggutsenut

lihatlah ibuibu tangguh bakul sayur setiap hari
sebelum subuh pergi melaku melawan menerjang
kabut dingin untuk memasak nasi demi keluarga

mencari bahagia anakanak supaya pergi
ke sekolah dengan riang, murni membawa
harapan hangat mentari esok pagi

ran, luka itu tak seberapa dibanding mereka

lihatlah di stasiun banyak anakanak
tercecer berlari berebut sekeping receh
dan dibiarkan saja oleh bapaknya,
dibiarkan bapaknya yang mengasu

dan kau tak perlu risau kalau
memang yakin pada kehidupan
mesin komedi putar wewaran

jan 2010


sumbergambar:kendis08.blogspot.com

Selasa, 05 Januari 2010

T E L A T

Pagi dini hari itu menunjuk pukul setengah tiga. Di luar malam masih terasa dingin. Lorong-lorong setapak jalan kampung masih sepi. Orang-orang lelap dengan atau tanpa mimpi. Tertidur. Jalanan basah sebab air sisa hujan tadi sore masih menggenang pada lubang-lubang menganga. Harmoni suara katak, jangkrik, kelelawar, dan serangga-serangga kecil menyelingi. Mereka bernyanyi.

Paduan suara khas malam hari. Dan aku masih terjaga. Menghabiskan beberapa gelas kopi, entah sudah berapa batang rokok filter kuhisap berkali-kali. Bercanda, tertawa, riang di antara sekawanan rumah kontrakan.

Kami memiliki kebiasaan yang sama. Begadang di malam hari. ”Sebentar lagi subuh, kau pergi tidur saja, bukankah kau ada acara di pagi hari ini?” Kata seorang kawan mengingatkan kalau nanti pagi-pagi sekali aku harus berangkat ke suatu tempat. Ya, pergi ke suatu tempat. Aku pun beranjak dari segerombol kawanan itu. Untuk tidur. Lalu suara sunyi waktu subuh itu pecah oleh ramai dering telpon genggam di atas meja. Aku tak menghiraukannya. Masih terlalu cepat menyudahi kenikmatan istirah yang belum dua jam merebahkan tubuh. ”Biarkan saja, ini masih terlalu gelap untuk beranjak dari tempat tidur,” gumamku.

***

Sementara pagi-pagi sekali di gedung banyak pohon beringin itu riuh dengan rombongan berkostum hitam legam. Bagai ramai orang-orang di terminal musim mudik lebaran, mereka terlihat sangat sibuk dengan barang-barang perbekalan. Yang satu sibuk dengan perbekalan pribadinya. Yang lain juga sibuk membantu mengangkut perbekalan berat, seperti perangkat komputer lengkap dengan printernya ke dalam bus. Beberapa bus baru maupun yang sudah hampir peyot tertata rapi di halaman.

Siap mengantar kepergian rombongan. Mereka para militan yang hendak menjalankan misi studi seni di desa. Pukul enam pagi waktu itu. Bus yang mengantar kepergian mereka berangkat. Kecuali satu bus untuk satu regu. Bus yang seharusnya aku turut berada di dalamnya. ”Tunggu lima menit lagi, pak! Rombongan kita masih kurang dua orang,” kata salah seorang dari mereka yang gemar berkaca mata hitam dan bertopi.

”Sudah tak ada waktu, tinggalkan saja!” rupanya pembimbing rombongan hilang kesabaran, sebab bus-bus yang lain sudah berada jauh di depan. ”Tetapi mau bagaimana pun kita belum bisa pergi tanpa dia, biar telat asal lengkap, pak!” Si jangkung berbadan tinggi besar itu menimpali kata-kata pembimbing rombongan yang geram.

“Ah! Sudahlah biar nanti dia pakai transportasi umum, biar tau rasa, ayo berangkat saja, pir!” katanya semakin geram, wajah sopir bus dilumat kena semprotnya pula.

Langit cerah menyemburat warna putih-biru. Cahya mentari pagi yang perlahan-lahan menembus masuk lewat fentilasi di atas jendela kamar membuatku panik. Karena sadar ini hari sudah hampir siang. Kepanikan semakin menjadi-jadi ketika kuraih telpon genggam di atas meja yang sempat tak terhiraukan tadi. ”Dua puluh satu panggilan tak terjawab dengan setting waktu menunjuk pukul tujuh tiga puluh? Pikirku.” Astaga, buru-buru aku melompat dari kasur menuju kamar mandi, cuci muka lalu gosok gigi, dan cepat-cepat mengambil langkah seribu. Menuju gedung di mana rombongan peserta KKN berangkat.

Aku berlari seperti tak menghiraukan apa-apa di sekitar. Kecipak suara sisa air hujan basahi sepatu bututku. Tapi lagi-lagi aku tak peduli dengan hal itu, meski cipratan airnya merembes masuk ke dalam kaus kaki. Aku terus berlari dengan nafas terengah-engah. Tapi, sampai pada pelataran gedung di mana para peserta KKN itu diberangkatkan, aku tak melihat siapa-siapa. Suasana sekitar gedung senyap. Hanya ada sisa-sisa kotak makanan berwarna putih tergeletak berserakan di antara hijau rumput lapangan depan rektorat.

Aku masuk ke dalam gedung. Ada orang rupanya di dalam gedung ini. Seseorang yang berpawakan setengah baya dengan perut sedikit buncit menoleh ke arahku. Kontan saja ia langsung tanya, “hei, sedang apa di situ? Bukankah seharusnya kau sudah ada bersama rombongan peserta yang lain?” Ia bertanya dengan nada keheranan. Aku menjawab pertanyaannya dengan mengatur nafas. “hh hh hh... iya, saya kesiangan akibat begadang semalam, pak, terus rombongan kelompok saya sudah berangkat, ya?” Tak jauh berbeda dengan kegeraman pembimbing rombongan peserta tadi, orang lembaga satu ini juga menunjukkan nada ketus dalam menjawab pertanyaanku.

”Ya jelas sudah berangkat tho! Wong jadwal pemberangkatannya pukul enam pagi tadi kok situ baru nongol jam segini, gimana sih, telat kok dipelihara, mau jadi apa bangsa ini kalau pemudanya kayak situ semua!”

Spontan aku menjawab sekenanya pula respon dari si perut buncit yang sok tau dan berlagak peduli dengan persoalan bangsa itu,

”ya jadi bangsanya sendiri saja pak, bangsa yang pemudanya suka nelat dan enjoy aja, makan tuh tepat waktu, bapak ini bukannya memberi jalan keluar malah maki-maki orang di pagi hari.”

”Kau itu sudah salah masih saja melawan, sadar nggak kalau kau salah?”

“Saya sadar kalau salah, tapi orang salah apa ya harus terus disalahkan, apalagi terus ditekan? Ya sudah, ya sudah, kelompok KKN saya jatuh di Desa Makam, kasih rute alamat lokasinya, biar saya cari sendiri saja.”

Ia diam sejenak, lalu menuruti juga permintaan alamat lokasi yang kupinta. Sembari mengambil kertas kosong di atas tumpukan berkas-berkas yang ada di depannya, ia menulis, ‘naik bus antar kota jurusan Jogja-Purwokerto, turun di simpang tiga Sokaraja, oper bus mini ke arah terminal Purbalingga terus oper bus mini lagi, cari yang ke arah Balai Desa Makam, Kec. Rembang, Purbalingga.’ Lalu ia menyodorkan kertasnya ke arahku,

”ini alamatnya, hati-hati di jalan ya…”

”Sudah nggak marah tho dengan peserta yang telat? Haha...”

Bapak itu tersenyum kecut melihat tingkahku yang sakepenake dhewe. Sambil melangkah meninggalkan bapak yang ternyata baik hati itu, di depan gedung rektorat kusulut rokok filter sisa begadang semalam. Menatap jauh ke depan sembari menyusuri jalan menuju Utara. Dengan sesekali kepulan asap putih itu menjulang tinggi ke atas permukaan. Kemudian duduk di antara lalu-lalang kendaraan yang melintasi pinggiran jalan kota Jogja. Menunggu bus antar kota arah tujuan Purwokerto guna menyusul kawan-kawan KKN, untuk kemudian bersama dan bersenang-senang di tepian penghujungnya.

Jogja, 2009

*semacam memorabilia untuk para sahabat KKN Desa Makam

Minggu, 03 Januari 2010

di sudut pulau yang membiru

di sudut pulau yang membiru
doamu selalu menyertai harihari
tuk memegang kata: setia pada
cinta

kau merakit sampan lalu kau
mendayungnya dengan tenang
mengarungi danaudanau

bahtera makna yang mendalam

berlayarlah di atas perahumu
rengkuhlah satu bunga teratai,
hai pastur

sebab aku tahu pada ruang
relung kalbu tersimpan benih
kasih purba yang telah lama
kau redam

capungcapung bertengger
di kaitan kawat berlogam
tersenyum senang melihat
kau riang

kakinya mencengkram erat
matanya enggan melirik kelam
yang pernah menikam
kehidupan masa silam

di atas perahumu, gapai, gapailah
paras jatibening bunga teratai itu

jan 2010