Sabtu, 12 Maret 2011

Fermata: sebuah umpan balik dari Tiramisu

Pada mulanya aku berucap balasan salam sesuai ajaran yang aku yakini: wa'alaikum salam wa'rohmatullahi wabarokatuh.

Terima kasih atas segala menu yang pernah kau hidangkan selama ini. Hingga pada akhirnya kau pun mengeluarkan sajian penutup dalam upaya untuk membasahi mulut--yang dikenal banyak orang dengan mencuci mulut--dan memberikan rasa yang berbeda dari hidangan sebelumnya.

Tiramisu, sebuah sajian penutup yang biasa diberikan untuk menjamu tamu kehormatan para elit italia itu. Apa yang aku rasakan dari tiramisu yang kau buat?

Segar, enak, dan tentunya, hidangan ini berbeda dari hidangan yang pernah ada. Namun dari pada itu, ada kegelisahan, gundah, dan resah yang mewujud berupa pertanyaan-pertanyaan terlontar pada tiramisu buatanmu.

Dari sekian kegelisahan itu nampak nyata bahwa kesalahan seperti apa yang telah kau perbuat, sampai aku memaklumatkan supersemar yang terdahulu. Baiklah, aku coba akan membeber di sini. Meskipun tanpa ada niat sedikit pun untuk menghitung-hitung kebaikan atau membuka dosa masing-masing. Karena pada keduanya akan terhitung sebagai kesalahan lagi pada alam yang lain.

***

Membuka beranda media sosial itu selalu ada aktivitas kegiatan apa yang kau perbuat.
Kau benar, dan sebetulnya kau sudah cukup mengetahui semuanya, bahwa aku tidak berkenan dengan sikap yang kau tunjukkan pada media sosial yang selama ini, tanpa ada unsur kesengajaan, terpantau dengan sendirinya. Padahal sebelumnya sudah cukup lama kau tunjukkkan sikap yang berbeda, sedikit demi sedikit dan perlahan tapi pasti sudah mulai membaik. Akan tetapi ndelala waktu itu, seolah kau ingin menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya. Entah karena apa. Mungkin kau ingin menunjukkan kalau sedang merasa berat dengan harimu pada saat itu, dengan membuat kalimat yang tidak sesuai pada dunia nyata, yang sedang memakan rendang itu.

"Enyak gw malem-malem begini masak rendang. endang banget baunya. bagi ya, nyak. sepotong..., eh, dua potong deh!
enyak : katanya lagi diet. gw : KATA SIAPA? BEUH! FITNAH ITU! GAK ADA-GAK ADA! PERASAAN ENYAK DOANG! *ngotot sambil nyendok nasi."

Pertanyaannya, apakah kau menyesal dan tidak rela dengan usahamu soal ini? Sampai kau tulis dengan huruf besar dan jelas sekali kalimat itu untuk membantah suatu pernyataan yang sudah pernah kita sepakati. Tentang komen komen selanjutnya, apakah tidak ada pilihan kata lain dalam membuat hidup suasana? Tidak, suasana hidup bukan dengan hal itu saja. Apalagi itu di tengah malam buta. Bagaimana hal itu bila terjadi pada dunia nyata? Aku membayangkan bila hal itu terjadi pada dunia nyata, sungguh, kau telah membuat rugi banyak orang.

Aku tidak menyoal seberapa banyak kau makan rendang atau bercengkrama dengan siapa saja, silahkan kalau kau memang menghendakinya. Namun yang aku persoalkan bisa tidak to, bicara dengan gaya yang biasa saja, dan tidak melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan, dengan segala kerendahan hati, dan sekali lagi maaf, bahwa kau di luar kesadaranmu telah menyakiti perasaan orang lain, liar, atau urakan. Ini yang buat aku tersinggung. Mengapa? karena kau calon istriku.

Aku memang tidak berpijak pada dunia maya. Karena itu, terbayang bagaimana jika hal pada dunia maya mewujud pada dunia nyata. Sebab apa yang kamu lakukan pada dunia maya itu, sudah tidak wajar bagiku untuk diwujudkan dalam dunia nyata. Sehingga aku dapat memahami dan mengambil kesimpulan bahwa pikiran yang kau tuangkan dalam dunia maya itu bisa jadi representasi dari keterkungkunganmu dari dunia nyata. Ini adalah sebuah pemberontakan pada dunia nyata, yang artinya kau menolak aturan yang telah diperbuatNya.

Sudahlah, yang jelas aku tidak sedang mencari cari alasan untuk meninggalkanmu dengan mencari kesalahanmu. Hal itu terbeber dengan sendirinya. Dan aku, catat ya, menghargai keputusan kamu tentang maha pemaafnya cinta, dan nilai yang tertanam pada dirimu ketika mencintai seseorang.

Aku memaafkanmu, karena aku mencintaimu. Semoga kau memang layak menjadi baik. Mari kita perbaiki segala sesuatunya dari dalam, bersihkan hati. Karena ini semua cerminan bahwa hati ini sudah kusam oleh perbuatan-perbuatan kita sendiri. Selalu ingat bahwa jasad ini akan kembai pada tanah dan berucap sholawat dan salam pada junjungan mungkin bisa jadi jalan keluar untuk membersihkan hati.

Boleh jadi sayatan kulit oleh pedang dapat terobati, akan tetapi, sayatan hati oleh "lidah", ke mana obat hendak dicari?

*Mari kita cuci mulut ini dengan air bersih

Jumat, 11 Maret 2011

Koda: Semacam Surat Peringatan Sebelas Maret (Supersemar)

"Aku tak peduli atas apa yang terjadi, atau tidak sekalipun. Bilamana kau atau aku yang bangsat. Kencangkan tali sepatumu, dan teruslah berjalan! Kembalilah pada kehidupan yang kau inginkan, untuk jadi dirimu sendiri yang urakan itu."

Pagi ini, kuteguk segelas kopi dan kuhisap sebatang filter yang masih seperti kemarin. Setelah pada akhirnya kembali pernyataan menyakitkan itu keluar lagi dari "mulutku" yang lain. Sudah berulang kali aku nyatakan kepadamu. Asalkan mampu dan punya daya tangan ini untuk menghapus sebuah kata yang bernama 'perpisahan', sudah tentu sedari dulu kata ini kuhapus.

Mengapa? Karena aku tidak suka dengan: p e r p i s a h a n. Tetapi kehendak ternyata berkata lain. Sehingga untuk kesekian kali aku musti berhadapan lagi dengan dia, sindrom perpisahan itu.

Aku sudah cukup bersabar akan kelakuanmu yang kerap kali tidak sejalan dengan apa yang seharusnya sesuai dengan pikiran pada umumnya. Untuk menciptakan perlakuan harmonis. Kelakuan yang tidak sesuai itu tidak perlu kusebut di sini, karena aku pikir kau sudah mengetahui semua.

Kau mendengar, tetapi kau enggan memasukkan ke dalam hati dan membuat tindakan kongkrit. Bahkan kau lebih suka untuk berulangkali melakukan, melakukan, dan melakukan kesalahan yang sama. Hmmmm. Barangkali aku memang tidak cukup pantas untuk kau gugu.

Sekali lagi aku ingatkan, aku sudah lelah. Aku sudah lelah untuk terus kau buat jengkel. Sudahlah, lebih baik aku mengambil keputusan untuk melanjutkan menuju koda. Dan akan mengakhiri lagu kehidupan denganmu apabila rasa lelah ini sudah mencapai puncaknya. Tidak ada repetisi lagi. Karena aku memang lelah. Aku lelah untuk terus kau buat jengkel.


*Surat ini tidak berlaku apabila kau sanggup membasuh rasa lelahku dengan sikap kongkrit yang bisa kau tunjukkan.


cikarang, 2011