Jumat, 11 Maret 2011

Koda: Semacam Surat Peringatan Sebelas Maret (Supersemar)

"Aku tak peduli atas apa yang terjadi, atau tidak sekalipun. Bilamana kau atau aku yang bangsat. Kencangkan tali sepatumu, dan teruslah berjalan! Kembalilah pada kehidupan yang kau inginkan, untuk jadi dirimu sendiri yang urakan itu."

Pagi ini, kuteguk segelas kopi dan kuhisap sebatang filter yang masih seperti kemarin. Setelah pada akhirnya kembali pernyataan menyakitkan itu keluar lagi dari "mulutku" yang lain. Sudah berulang kali aku nyatakan kepadamu. Asalkan mampu dan punya daya tangan ini untuk menghapus sebuah kata yang bernama 'perpisahan', sudah tentu sedari dulu kata ini kuhapus.

Mengapa? Karena aku tidak suka dengan: p e r p i s a h a n. Tetapi kehendak ternyata berkata lain. Sehingga untuk kesekian kali aku musti berhadapan lagi dengan dia, sindrom perpisahan itu.

Aku sudah cukup bersabar akan kelakuanmu yang kerap kali tidak sejalan dengan apa yang seharusnya sesuai dengan pikiran pada umumnya. Untuk menciptakan perlakuan harmonis. Kelakuan yang tidak sesuai itu tidak perlu kusebut di sini, karena aku pikir kau sudah mengetahui semua.

Kau mendengar, tetapi kau enggan memasukkan ke dalam hati dan membuat tindakan kongkrit. Bahkan kau lebih suka untuk berulangkali melakukan, melakukan, dan melakukan kesalahan yang sama. Hmmmm. Barangkali aku memang tidak cukup pantas untuk kau gugu.

Sekali lagi aku ingatkan, aku sudah lelah. Aku sudah lelah untuk terus kau buat jengkel. Sudahlah, lebih baik aku mengambil keputusan untuk melanjutkan menuju koda. Dan akan mengakhiri lagu kehidupan denganmu apabila rasa lelah ini sudah mencapai puncaknya. Tidak ada repetisi lagi. Karena aku memang lelah. Aku lelah untuk terus kau buat jengkel.


*Surat ini tidak berlaku apabila kau sanggup membasuh rasa lelahku dengan sikap kongkrit yang bisa kau tunjukkan.


cikarang, 2011