Selasa, 05 Januari 2010

T E L A T

Pagi dini hari itu menunjuk pukul setengah tiga. Di luar malam masih terasa dingin. Lorong-lorong setapak jalan kampung masih sepi. Orang-orang lelap dengan atau tanpa mimpi. Tertidur. Jalanan basah sebab air sisa hujan tadi sore masih menggenang pada lubang-lubang menganga. Harmoni suara katak, jangkrik, kelelawar, dan serangga-serangga kecil menyelingi. Mereka bernyanyi.

Paduan suara khas malam hari. Dan aku masih terjaga. Menghabiskan beberapa gelas kopi, entah sudah berapa batang rokok filter kuhisap berkali-kali. Bercanda, tertawa, riang di antara sekawanan rumah kontrakan.

Kami memiliki kebiasaan yang sama. Begadang di malam hari. ”Sebentar lagi subuh, kau pergi tidur saja, bukankah kau ada acara di pagi hari ini?” Kata seorang kawan mengingatkan kalau nanti pagi-pagi sekali aku harus berangkat ke suatu tempat. Ya, pergi ke suatu tempat. Aku pun beranjak dari segerombol kawanan itu. Untuk tidur. Lalu suara sunyi waktu subuh itu pecah oleh ramai dering telpon genggam di atas meja. Aku tak menghiraukannya. Masih terlalu cepat menyudahi kenikmatan istirah yang belum dua jam merebahkan tubuh. ”Biarkan saja, ini masih terlalu gelap untuk beranjak dari tempat tidur,” gumamku.

***

Sementara pagi-pagi sekali di gedung banyak pohon beringin itu riuh dengan rombongan berkostum hitam legam. Bagai ramai orang-orang di terminal musim mudik lebaran, mereka terlihat sangat sibuk dengan barang-barang perbekalan. Yang satu sibuk dengan perbekalan pribadinya. Yang lain juga sibuk membantu mengangkut perbekalan berat, seperti perangkat komputer lengkap dengan printernya ke dalam bus. Beberapa bus baru maupun yang sudah hampir peyot tertata rapi di halaman.

Siap mengantar kepergian rombongan. Mereka para militan yang hendak menjalankan misi studi seni di desa. Pukul enam pagi waktu itu. Bus yang mengantar kepergian mereka berangkat. Kecuali satu bus untuk satu regu. Bus yang seharusnya aku turut berada di dalamnya. ”Tunggu lima menit lagi, pak! Rombongan kita masih kurang dua orang,” kata salah seorang dari mereka yang gemar berkaca mata hitam dan bertopi.

”Sudah tak ada waktu, tinggalkan saja!” rupanya pembimbing rombongan hilang kesabaran, sebab bus-bus yang lain sudah berada jauh di depan. ”Tetapi mau bagaimana pun kita belum bisa pergi tanpa dia, biar telat asal lengkap, pak!” Si jangkung berbadan tinggi besar itu menimpali kata-kata pembimbing rombongan yang geram.

“Ah! Sudahlah biar nanti dia pakai transportasi umum, biar tau rasa, ayo berangkat saja, pir!” katanya semakin geram, wajah sopir bus dilumat kena semprotnya pula.

Langit cerah menyemburat warna putih-biru. Cahya mentari pagi yang perlahan-lahan menembus masuk lewat fentilasi di atas jendela kamar membuatku panik. Karena sadar ini hari sudah hampir siang. Kepanikan semakin menjadi-jadi ketika kuraih telpon genggam di atas meja yang sempat tak terhiraukan tadi. ”Dua puluh satu panggilan tak terjawab dengan setting waktu menunjuk pukul tujuh tiga puluh? Pikirku.” Astaga, buru-buru aku melompat dari kasur menuju kamar mandi, cuci muka lalu gosok gigi, dan cepat-cepat mengambil langkah seribu. Menuju gedung di mana rombongan peserta KKN berangkat.

Aku berlari seperti tak menghiraukan apa-apa di sekitar. Kecipak suara sisa air hujan basahi sepatu bututku. Tapi lagi-lagi aku tak peduli dengan hal itu, meski cipratan airnya merembes masuk ke dalam kaus kaki. Aku terus berlari dengan nafas terengah-engah. Tapi, sampai pada pelataran gedung di mana para peserta KKN itu diberangkatkan, aku tak melihat siapa-siapa. Suasana sekitar gedung senyap. Hanya ada sisa-sisa kotak makanan berwarna putih tergeletak berserakan di antara hijau rumput lapangan depan rektorat.

Aku masuk ke dalam gedung. Ada orang rupanya di dalam gedung ini. Seseorang yang berpawakan setengah baya dengan perut sedikit buncit menoleh ke arahku. Kontan saja ia langsung tanya, “hei, sedang apa di situ? Bukankah seharusnya kau sudah ada bersama rombongan peserta yang lain?” Ia bertanya dengan nada keheranan. Aku menjawab pertanyaannya dengan mengatur nafas. “hh hh hh... iya, saya kesiangan akibat begadang semalam, pak, terus rombongan kelompok saya sudah berangkat, ya?” Tak jauh berbeda dengan kegeraman pembimbing rombongan peserta tadi, orang lembaga satu ini juga menunjukkan nada ketus dalam menjawab pertanyaanku.

”Ya jelas sudah berangkat tho! Wong jadwal pemberangkatannya pukul enam pagi tadi kok situ baru nongol jam segini, gimana sih, telat kok dipelihara, mau jadi apa bangsa ini kalau pemudanya kayak situ semua!”

Spontan aku menjawab sekenanya pula respon dari si perut buncit yang sok tau dan berlagak peduli dengan persoalan bangsa itu,

”ya jadi bangsanya sendiri saja pak, bangsa yang pemudanya suka nelat dan enjoy aja, makan tuh tepat waktu, bapak ini bukannya memberi jalan keluar malah maki-maki orang di pagi hari.”

”Kau itu sudah salah masih saja melawan, sadar nggak kalau kau salah?”

“Saya sadar kalau salah, tapi orang salah apa ya harus terus disalahkan, apalagi terus ditekan? Ya sudah, ya sudah, kelompok KKN saya jatuh di Desa Makam, kasih rute alamat lokasinya, biar saya cari sendiri saja.”

Ia diam sejenak, lalu menuruti juga permintaan alamat lokasi yang kupinta. Sembari mengambil kertas kosong di atas tumpukan berkas-berkas yang ada di depannya, ia menulis, ‘naik bus antar kota jurusan Jogja-Purwokerto, turun di simpang tiga Sokaraja, oper bus mini ke arah terminal Purbalingga terus oper bus mini lagi, cari yang ke arah Balai Desa Makam, Kec. Rembang, Purbalingga.’ Lalu ia menyodorkan kertasnya ke arahku,

”ini alamatnya, hati-hati di jalan ya…”

”Sudah nggak marah tho dengan peserta yang telat? Haha...”

Bapak itu tersenyum kecut melihat tingkahku yang sakepenake dhewe. Sambil melangkah meninggalkan bapak yang ternyata baik hati itu, di depan gedung rektorat kusulut rokok filter sisa begadang semalam. Menatap jauh ke depan sembari menyusuri jalan menuju Utara. Dengan sesekali kepulan asap putih itu menjulang tinggi ke atas permukaan. Kemudian duduk di antara lalu-lalang kendaraan yang melintasi pinggiran jalan kota Jogja. Menunggu bus antar kota arah tujuan Purwokerto guna menyusul kawan-kawan KKN, untuk kemudian bersama dan bersenang-senang di tepian penghujungnya.

Jogja, 2009

*semacam memorabilia untuk para sahabat KKN Desa Makam