Selasa, 10 November 2009

Budaya Musik dan Kearifan Masyarakat Lokal

Barangkali kita bisa belajar dari satu rangkaian kalimat ini, “luwih becik nuthuk saron tinimbang nuthuk ndasmu”. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih memiliki padanan arti, “lebih baik memukul saron daripada memukul kepalamu”. Saya coba memahami kalimat itu dengan cara menafsirkan gabungan suku kata ‘nuthuk saron’ yakni sama halnya memukul, menabuh atau memainkan saron. Sedangkan gabungan suku kata berikutnya ‘nuthuk ndasmu’ (memukul kepalamu) yang bila benar itu dilakukan kok terkesan hanya sebatas ulah emosional negatif saja.

Seperti yang sudah terlanjur dan pernah terjadi pada kondisi masyarakat kita. Semisal seringkali kabar berita mewartakan kondisi “fals” akibat ulah beberapa oknum sehingga melahirkan istilah tawuran antar pelajar/mahasiswa, ribut di meja politik, perang antar suku (etnis), bahkan agama. Artinya, lebih baik mendengarkan atau memainkan musik, ini tentu lebih artistik daripada berbuat tindakan yang berujung pada anarkistik. Tidak bermaksud hendak menyoal kandungan makna sekaligus siapa dan darimana kalimat tersebut berasal. Akan tetapi secara implisit kalimat parodi ini menggelitik telinga saya, ketika mendengar kabar kondisi “fals” yang sudah-sudah itu dan ingin mengemukakan beberapa persoalan mengenai kearifan budaya musik lokal beserta masyarakatnya.

Sebagaimana yang diketahui, saron adalah salah satu perangkat alat musik gamelan warisan masyarakat tradisional. Instrumen bersifat perkusif ini memiliki tabung resonator di bawahnya dan terdiri dari bilahan-bilahan perunggu. Berdasarkan kesusastraan Jawa Kuna maupun tipikal bunyi yang dimiliki, saron termasuk pada golongan ghana vadya (ideofon) dimana sumber bunyinya berasal dari badan alat musik itu sendiri. Tentang alat-alat musik Jawa Kuna ini dijelaskan oleh Ferdinandus (2001), bahwa alat musik golongan ideofon pada mulanya terdiri atas bagian tubuh manusia, misalnya bertepuk tangan yang dipergunakan sebagai pengatur ritme. Saron, dalam hal ini, termasuk pengatur ritme sekaligus pembawa melodi yang memiliki peranan dalam musik gamelan yang cukup penting.

Lepas dari peranan alat musik saron, di Indonesia sendiri sebetulnya memiliki sejarah budaya musik yang unik. Yang mana tidak terlepas dari pengaruh kedatangan orang-orang India melalui jalur perdagangan. ”Pengaruh kebudayaan India mencapai puncaknya dari pertengahan abad ke-8 sampai abad ke-11 M dimana terjadi suatu fase kreativitas yang sangat tinggi,” demikian sejarawan musik Prier Sj. menjelaskan. Sejarawan musik ini pun mengakui bahwa perkembangan musik gamelan sampai sekarang itu memiliki potensi (kualitas) kesenian yang tinggi dan tiada bandingnya di antara negara-negara lain di Asia Tenggara. Dengan kata lain, sebenarnya di tanah air kita menyimpan kekayaan seni termasuk seni musik tradisi yang, disadari atau tidak, dapat menunjukkan keluhuran suatu budaya bangsa.

Saya pikir hal ini selaras dengan apa yang pernah diwacanakan oleh Emha Ainun Nadjib, seorang budayawan, yang pernah berpendapat pada saat diskusi rutin (bulanan) tentang kondisi sosial-budaya di tengah-tengah masyarakat Maiyah (Yogyakarta). Ia mengemukakan bahwa sebenarnya sejarah Indonesia telah membuktikan kalau para pendahulu kita itu “sakti-sakti”. Ini bisa dibuktikan dengan tokoh-tokoh, seniman berikut peninggalan karya seni dan nilai kearifan budaya tradisinya. Prinsip ‘gotong-royong’ misalnya, prinsip ini pun dapat kita temukan dalam budaya musik gamelan yang identik dengan permainan secara komunal, dalam istilah musik yakni secara ansambel maupun orkestra gamelan. Di mana keutuhan suatu lagu atau gendhing itu dapat terjalin atas dasar interaksi musikal, hasil olah rasa para penabuhnya yang bersinergi.

Mempelajari musik secara mendalam akan ditemukan persoalan yang kompleks. Di satu sisi ada musik sebagai ekspresi seni murni, sisi yang lain ada musik yang murni sebagai hiburan (pop), musik sebagai alat terapi psikis manusia, musik untuk pendidikan, dan lain sebagainya. Djohan (2007) seorang psikolog musik, berpendapat bahwa musik itu ada di mana-mana dalam setiap masyarakat. Baik dalam bentuk seni maupun fungsional sebagai aktivitas budaya, hasil kecerdasan manusia, yang membentuk dan mengkontrol serta menembus perilaku manusia pada semua tatanan.

Ditinjau dari sudut psikologi, musik sedikit-banyak ternyata dapat membantu atau memberi pengaruh pada perilaku positif manusia. Salah satu misalnya musik itu dapat menjadi penyalur emosi positif. Jadi wajar saja ketika orang-orang asing banyak berdatangan dan mau belajar musik gamelan sering ditemukan kesamaan bahkan sering pula dinilai—istilah Emha, luwih njawani timbangane wong Jowo dewe—dalam keseharian perilakunya, yang konon, berwatak dan berperilaku halus. Boleh jadi itu semua efek dari pelajaran nabuh musik gamelan.

Sebagai masyarakat yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai kearifan seni dan budayanya sendiri. Semestinya kita bisa lebih saling hormat-menghormati (teposelira) atas keberagaman kekayaan seni dan budaya, perbedaan pendapat, suku (ras, etnisitas), agama, maupun paham aliran atau kelompok apa saja. Sehingga pada akhirnya ditemukan titik sinergi yang dapat membangun jalinan kebersamaan selaras nan indah. Sebagaimana jargon ‘Bhineka Tunggal Ika’ itu bagaimana benar-benar dapat diterapkan. Dan bersyukur apabila dapat menjadi masyarakat panutan bagi bangsa lain. Bukannya menjadi masyarakat puritan yang memiliki “hobi bertengkar” dalam pergulatan arena apa saja yang membuat kesan negatif dan fals. Semoga saja.