Rabu, 11 November 2009

Merindukan Orang Rumah

Catatan Peristiwa Budaya

Selain memiliki akal budi untuk mengetahui, manusia juga memiliki daya kepekaan rasa. Agaknya dua hal ini yang membedakan unikum perilaku manusia yang satu dengan yang lainnya. Agaknya dua hal itu juga yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia menghasilkan produk melalui akal budi dan daya penghayatan rasanya. Ialah budaya yang disebut sebagai produk dari manusia. Sebagai contoh hal paling sederhana mungkin dapat diambil dari budaya lisan, yang diawali oleh bahasa ibu dalam sebuah keluarga. Sehingga dapat tercipta produk jalinan komunikasi (musyawarah keluarga) yang akan mempererat suatu hubungan dalam keluarga.

Tentunya kita tidak hanya dapat memaknai budaya dalam hal keluarga saja. Budaya dalam arti luas memiliki keanekaragaman disiplin yang mengantarkan pengetahuan manusia sehingga menjadi ahli. Gazalba, seorang ahli ilmu budaya, dalam Mustopo (1989) mengatakan produk budaya ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia, yang membentuk satu kesatuan sosial dalam suatu ruang dan satu waktu. Pada konteks ruang dan waktu, sebagaimana yang sudah kita rasakan, saat ini banyak sekali melahirkan produk-produk budaya.

Kita mafhum bahwa arus perkembangan zaman modern membawa kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai konsekuensi logis hal ini membawa dampak positif sekaligus dampak negatif. Betapapun tidak, kecanggihan era komputer (internet) menyuguhkan kemudahan-kemudahan dalam mengakses segala bentuk informasi yang melahirkan kelompok–kelompok budaya baru: kelompok cyberspace. Berbagai kepentingan pun akhirnya berjejal dalam penggunaan internet, misalnya, saling tukar informasi pengetahuan, pergulatan eksistensi individual maupun komunal, komunikasi langsung melalui citra (image to image) dalam media Facebook ini, hingga pada kepentingan-kepentingan yang berorientasi bisnis.

Internet bukan saja hanya menjadi kebutuhan, akan tetapi juga sudah menjadi bagian dari gaya hidup (life style) masyarakat perkotaan. Mungkin sekilas dapat diilustrasikan begini: setelah puas dengan tongkrongannya nonton bioskop 21 (twenty one) Dulkempul dan kawan-kawan masuk dalam mobil pergi meninggalkan Carrefour. Ia ke mana-mana menenteng tas ukuran sedang berisi ‘laptop’, entah apa yang diperbuatnya dengan barang itu. Lalu sekawanan itu turun dari mobil untuk makan malam di Mc.D atau KFC atau kedai makanan trendi yang dianggap mentereng lainnya kemudian ber-hotspot ria. Meskipun tidak semua orang seperti Dulkempul, namun begitu kiranya kondisi dalam konstelasi masyarakat perkotaan masa kini. Tak urung kemudahan dalam mengarus-deras konsumsi masyarakat dengan gaya hidup perkotaan itu berujung pada budaya konsumtif.

Fenomena Dulkempul itu seperti ditangkap oleh Taman Budaya Yogyakarta dengan menggelar 'Pasar Kangen Jogja'. Agenda ini diselenggarakan di tengah-tengah masyarakat modern Yogyakarta. Dengan mengusung konsep nuansa kekeluargaan. Dengan nuansa kekeluargaan kita serasa berada dalam rumah sendiri saja. Acara penutupan ‘Pasar Kangen Jogja’ pada hari Kamis, 11 Juni 2009. Dalam ‘Pasar Kangen Jogja’ di situ menyuguhkan berbagai macam makanan khas tradisional hasil dari produk lokal.

Apakah hubungan makanan tradisional dengan budaya dan pola kehidupan modern? ”Makanan pada suatu masyarakat merupakan kekayaan pusaka dari masyarakat tersebut. Sifat pusaka itu terbentang dari bahan-bahannya, campurannya, komposisinya, cara memasaknya, cara membungkus dan menyajikannya,” demikian tulis Hairus Salim, seorang wartawan senior itu. Makanan tradisional diibaratkan benda pusaka. Artinya, ia dirawat, di elu-elu, ditampilkan kembali dengan membawa rasa khawatir akan punah jika tidak dirawat. Makanan tradisional seolah-olah memang tidak lagi menarik masyarakat kita dikarenakan semakin banyaknya produksi jenis makanan seperti: fastfood, junkfood, mie instan dll., terlebih dengan semakin maraknya kedai makanan bergaya cafe (dilengkapi fasilitas hotspot) atau bergaya Mc.D dan KFC yang notabene bukan berasal dari budaya kita sendiri. Kalau mau merunut lagi secara budaya, maka makanan mutlak merupakan unsur dasar manusia dan latar belakang kebudayaannya.

Karena makanan berurusan langsung dengan kebutuhan fisik yang tercecap dari cita-rasa lidah kita. Lidah orang yang terbiasa dengan budaya Sunda tentu akan merasakan bedanya sayur asem buatan orang Jawa Timur, begitu pun sebaliknya. ”Bisa dikatakan, makanan merupakan salah satu unsur identitas dasar,” kata Lono Simatupang, seorang pengajar ilmu Antropologi. Bertolak atas dasar identitas lokal (sebetulnya bukan hal baru) agaknya yang menjadi motivasi keberlangsungan peristiwa ‘Pasar Kangen Jogja’ malam itu. ‘Pasar Kangen Jogja’ seperti hendak berupaya melakukan penyadaran masyarakat akan pentingnya nilai budaya lokal di zaman modern melalui makanan tradisional. ‘Pasar Kangen Jogja’ seperti hendak berkata bahwa ia adalah rumah bagi orang-orang yang merindukan orisinilitas produk-produk dari kebudayaan lokal.

Tidak hanya itu, peristiwa ‘Pasar Kangen Jogja’ juga dimeriahkan oleh pementasan musik Kiai Kanjeng. Dalam konteks ini Kiai Kanjeng tampil ibarat makanan tradisional. Garapan reportoarnya lentur dan khas dan sarat mencerminkan kekayaan dan keberagaman budaya Nusantara. Kurang lebih tiga puluh menit setelah tampil membawakan reportoarnya, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) sebagai garda depan kelompok musik itu naik ke atas panggung lalu memberikan penyegaran terhadap publik melalui ceramah budaya. Tidak banyak apa yang disampaikan Cak Nun, pokok pikiran yang bisa ditangkap dari ceramahnya ialah bahwa acara semacam ini patut rutin diselenggarakan.

Kalau perlu bukan hanya seniman saja yang dilibatkan, akan tetapi pihak Taman Budaya Yogyakarta (TBY) juga menghadirkan orang-orang pemerintahan dan tokoh-tokoh kelima agama di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar para elit politik dan tokoh agama itu tidak melulu mengurusi kepentingan individu atau kelompoknya sendiri yang bersifat kampanye politis saja. ”Agar mereka juga bisa belajar dari para pelaku budaya (seniman) mengenai penghargaan terhadap nilai keberagaman budaya. Sudah saatnya seniman lokal tampil ke permukaan dengan membawa karya dan misi yang mencerminkan nilai pluralitas budaya yang mengindonesia,” imbuh Cak Nun.