Selasa, 10 November 2009

Puisi dan Musik

Puisi dan musik bukan hal baru dalam dunia panggung/pertunjukan. Ini bisa dilihat dari warisan seni tradisional masyarakat kita yang majemuk. Seperti misalnya warisan tembang-tembang Jawa dan Sunda, pantun atau parikan di Jawa Timur, mantra di tanah Melayu dan agaknya masih banyak lagi seni tradisi yang menggunakan unsur puisi dan musik. Barangkali yang baru itu cuma gaya tampilan, gagasan atau ide-ide segarnya, konsekuensi dari perubahan jaman. Telah lama pada keduanya tampak sama-sama memiliki nilai ungkap yang berbeda. Kalau puisi menggunakan bahasa kata, musik menggunakan bahasa nada.

Namun yang menarik perhatian di sini bagaimana hubungan kedua bidang seni ini dapat menyatu sebagaimana umumnya disebut dengan musikalisasi puisi. Bukankah berlainan makna apabila kosakata ‘musik puisi’ dibalik menjadi ‘puisi musik’? Lalu, musikalisasi puisi itu seperti apa? Nah, kiranya ini dapat kita kaji lebih mendalam. Jika sejenak kita menilik sejarah kesusastraan Jawa Kuna, maka ada sebuah istilah ‘sastra-gending’ dimana kandungan isinya sarat dengan pesan-pesan luhur dari peradaban masyarakat tradisional yang menarik perhatian. Mengenai ihwal itu bukan berarti tulisan ini hendak mengungkapkan sejarah kesusastraan.

Tetapi istilah tersebut agaknya dapat berguna sebagai pendekatan dalam menggali keterkaitan antara puisi dan musik yang dapat melebur menjadi satu karya utuh. Dalam penelitian Damardjati Supadjar (2001) tentang ‘Serat Sastra Gending’ dan sebenarnya lebih berbicara filsafat sosial, mengemukakan, pada masa Sultan Agung (1613-1645 M) telah dirumuskan secara bipolar hubungan sastra dengan gending. Ahli sastra—dalam penelitian itu—dianggap sebagai hakikat atau makna kehidupan, sedangkan ahli gending lebih mengarah pada syariat atau irama kehidupan. Keduanya tidak boleh bertentangan, harus saling mengisi.

Mungkin persoalan ini juga sama halnya dengan logika ala agama. Kalau dalam agama tidak mungkin ada syariat tanpa hakikat—wujud (Tuhan), begitu pula sebaliknya tidak akan diketemukan hakikat tanpa ada syariat atau hukum yang berlaku guna mencapai Tuhan. Artinya, keduanya harus benar-benar seimbang agar dapat merasakan sesuatu yang abstrak itu. Kembali pada persoalan musikalisasi puisi. Pengibaratan logika agama dan hubungan ‘sastra gending’ tadi selaras dengan persoalan musikalisasi puisi di sini. Dalam hal ini puisi sebagai hakikat, musik pada syariatnya. Keduanya tidak akan didapati sinergi positif tanpa ada keseimbangan. Dari sini dapat dipetik pengertian bahwa musikalisasi puisi, musik dan puisi, itu dua unsur yang tidak dapat dipisahkan.

Tidak ada kategori paling pokok (utama) antara puisi dan musik kalau berbicara tentang musikalisasi puisi. Kadang kala lirik yang begitu kuat itu bisa saja menghilang oleh iringan musik. Peranan musik pun juga demikian, kehadirannya bukan mutlak diberikan untuk mendominasi karya itu. Emha Ainun Nadjib, kita mengenalnya sebagai seorang penyair yang kerap meramu puisi dengan musik, berkata dalam jurnal nasional yang ditulis oleh Vebi Mega Indah bahwa “keduanya hadir sesuai dengan kondisi yang ada”. Dengan kata lain, seorang penyair dan musisi di sini diharapkan dapat berinteraksi dengan bahasanya yang berbeda. Sama-sama menggunakan daya perenungan yang mendalam, baik sebagai bentuk ekpresi pribadi maupun re-presentasi sosial. Ada kalanya seorang musisi itu harus benar-benar mengerti apa dan bagaimana isi (makna) dari puisi yang hendak dikemukakan dan diinginkan penyair. Seorang penyair pun juga dituntut mengerti, setidaknya, mengenal nada agar ruh puisi yang dinyanyikan bisa lebih dirasakan oleh apresiator. Hal ini penting khususnya bagi kita yang tertarik dengan dunia musikalisasi puisi. Proses kreatif di sini butuh kebebasan dalam menghasilkan karya yang demokratis dan dinamis. Dan tentu persoalannya tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan, butuh proses yang tidak instan.

Seni sebagai bentuk re-presentasi sosial dapat diwujudkan ke dalam musikalisasi puisi. Ini sudah dilakukan oleh Emha dengan gaya khas ‘kyai kanjeng’-nya dan mencoba menyikapi keadaan plural masyarakat kita. Gerakan seni yang sudah dilakukannya banyak memberi sumbangan pada lini budaya kemasyarakatan (guyub, rukun) meskipun banyak prestasi itu sepertinya tidak pernah mau diakui. Artinya, cukup dengan kepuasan batin saja. Memang, pada dasarnya konteks seni hampir tidak pernah mengenal batasan kelas sosial tertentu apalagi kesukuan. Tidak ada senior-yunior, miskin-kaya, suku A-suku B, pejabat-tukang becak, semua sama.

Yang ada bagaimana ketulusan dan kejujuran dapat berbuat dan memberi “sesuatu” kepada khalayak itu dapat terbangun, inilah jantung kesenian. Timbul lagi pertanyaan untuk mengakhiri tulisan ini. Apakah generasi kita pecinta seni musik dan seni-sastra dapat merasakan kegelisahan dan hendak berbuat sesuatu? Sejauh mana ia punya strategi? Seperti apa wujud konkritnya? Jawaban dari pertanyaan ini mungkin menjadi pe-er bersama bagi generasi kita, kaum muda. Agar tidak semakin terpuruk dalam kegelisahan itu sendiri. Tetapi bagaimana cara bergerak, bangun, dan maju itu dapat terjadi dan tampak nyata. Bukan hanya dalam mimpi. Sekian.