Minggu, 22 November 2009

L a l u n a


Usia Laluna belum genap dua belas tahun. Sepanjang sore ini dia suka sekali bermain di serambi rumahnya. Karena nanti malam akan diadakan sebuah pesta. Dia seperti tidak sabar menanti malam. Dengan riang-gembira Laluna berlari kecil. Kadang sambil melompat-lompat di sekitar pekarangan rumahnya yang terlihat mulai ramai tamu. Rumahnya berada di lereng bukit Kabupaten Magelang. Di situ, pohon-pohon terlihat begitu rimbun. Daun kering berserakan di atas tanah, dihempas-hempaskan angin musim kemarau yang berkelindan cukup kencang.


Tepat di ujung paling depan rumah terdapat gapura batu berbentuk naga. Desir angin, dan burung-burung bebas bernyanyi berterbangan dari segala arah. Gemercik aliran sungai di pinggiran rumahnya menambah kesan damai saja. Batu-batu kali sengaja ditanam sebagai tempat duduk keluarga. Atau barangkali tanaman batu itu juga dipakai bercengkrama bagi para tamu, yang sekadar ingin mampir berteduh sembari menikmati alam dan secangkir teh di sore hari. Sebab di serambi sekitar rumah Laluna juga terdapat kedai. Kedai itu terbuka bagi siapa pun. Sementara itu, Laluna asik mengamati para tamu yang datang. Sesekali dia menyapa orang yang lalu-lalang menyiapkan pesta perjamuan nanti malam, sumringah dia menunjukkan sifat keramah-tamahannya kepada tamu-tamu yang berdatangan itu.


Untuk persiapan pesta segala sesuatu ditata di sekitar rumahnya. Tali tambang diikat menjulang di antara pohon yang satu dengan yang lain. Ranting dan kayu bakar ditumpuk berdiri. ”Oo, mau bikin api unggun rupanya,” pikir Laluna. Di tengah-tengah sekitar tempat kayu berdiri ada semacam panggung untuk pertunjukan kecil. Di sebelah panggung terdapat pedati tanpa kuda yang dibiarkan terpampang begitu saja. Sebagai hiasan ruang pesta, ada juga instalasi ikan hiu berwarna biru dengan bola mata besar keluar dari tubuhnya. Ini ditempatkan di antara pohon sebelah kanan panggung.


”Ikan hiunya lucu, dia punya sayap seperti mau terbang,” Laluna berucap dalam hati, kalimat simpatik itu tidak sempat dikeluarkan melalui mulutnya.


***


Sebelum pada waktunya tenggelam, perlahan matahari bergerak ke arah barat. Langit senja menyemburat warna jingga, dan sesaat kemudian malam pun tiba. Pesta dimulai. Konon pesta perjamuan ini rutin diadakan keluarga Laluna setiap malam bulan purnama. Selain hiruk-pikuk ramai suara manusia, riuh-rendah suara juga muncul dari instrumen gitar, bas, dan beberapa alat musik pukul djembe. Alat musik itu dimainkan secara akustik. Beberapa band akustik itu tampil di bagian awal pertunjukan. Mereka ikut mewarnai pesta. Namun tidak seperti biasanya, pesta perjamuan kali ini digelar dengan dandanan peserta yang hadir musti tampil nyleneh.


Barangkali mirip dengan pesta kostum 'helowin' di Barat sana. Di mana orang-orang yang terlibat dalam pesta menggunakan kostum berbau hantu. Tapi perbedaannya dalam pesta ini orang-orang berkostum binatang, meskipun ada juga di antara mereka yang tampil sebagaimana umumnya manusia memakai pakaiannya. Laluna sendiri memakai kostum seorang peri dengan membawa tongkat kecil di tangannya.


Selintas berkelebatan orang lewat di samping Laluna. Sepertinya dia tertarik menghampiri orang yang lewat berdandan mirip burung merak. Diperhatikannya orang itu dari dekat. Mahkota dengan bulu-bulu hitam, hijau dan ungu disampirkan di kepala. Sebagai penghias kepala, warna yang dipakai memang mewakili warna bulu-bulu burung merak. Setelah puas menikmati dandanan ala burung merak ini, dia pergi ke arah manusia berbentuk kupu-kupu, capung, kelelawar, dan badut. Dan ada pula yang berdandan ala perempuan suku Indian, mereka bercengkrama.


Laluna senang mengamati tingkah pola manusia yang berdandan aneh-aneh ini. Tapi tiba-tiba dia tersentak kaget. Sebab ada orang yang tubuhnya dibalut penuh perban dengan bercak-bercak darah berdiri tepat di belakangnya. Kontan saja dia menjerit ketakutan dan sebal terhadap kawan kakaknya yang berdandan seram itu. ”Aih! mengapa kau berdiri di belakangku? Busanamu mengerikan!” hentak Laluna. Sambil mencoba membenahi raut muka yang tampak ketakutan dan sebal tadi ke wajah semula, dia menambahkan pernyataan. ”Kakak seperti orang sakit sehabis kecelakaan tertabrak truk,” katanya.


”sengaja biar terlihat sakit, Laluna.”


”O, sedang sakit, ya, kok bisa datang ke pesta ini?”


”Kan aku bilang terlihat sakit, bukan sedang sakit.”


”Aneh! Pakai kostum kok, kostum orang sakit. Jangan-jangan kakak memang sedang sakit beneran ..... sakit jiwa!” katanya lagi.


”Aku mau lihat pertunjukan dari arah sana saja,” sambil pergi berlalu terlihat wajahnya puas sehabis meledek kawan kakaknya. Lelaki berbentuk mumi itu cuma bisa nyengir diledek Laluna. Setelah meninggalkannya Laluna duduk di atas batu. Dia menikmati keasyikan pentas di panggung kecil itu dari arah yang berlawanan dengan sebelumnya. Bulan purnama di atas terlihat begitu cantik. Bulat. Nyaris tidak ada bagian dari bentuk bulat itu hilang barang secuil. Sinarnya membias dipantulkan daun pohon. Bias cahayanya berada di antara Laluna duduk tenang menyaksikan pertunjukan.


Sedari tadi pertunjukan sudah berjalan. Lewat tiga penyaji. Ketika Laluna sempat ribut dengan manusia mumi itu. Kini tiba giliran empat anak-anak menari. Satunya sebagai dalang, ikut menari tapi sambil membawa kelir. Dengan mengayun-ayunkan kelirnya, mulut anak ini komat-kamit. Seperti sedang mendongeng. Dan keempat anak lainnya mengikuti perintah gerakan dari anak yang mendongeng itu. Mereka menyebut kelompoknya sebagai titisan anak-anak matahari. Mukanya dicat berwarna putih. Lakon punakawan dari cerita pewayangan itu mereka bawakan secara mengalir. Segar. Dengan tetabuhan musik pengiringnya yang rancak. Lalu sayup-sayup terdengar alunan lagu dolanan anak. Lagu Padang Bulan dinyanyikan di samping panggung oleh tim musiknya.


***


Laluna terdiam melihat kawan-kawan sebayanya itu menari dan bercerita di atas panggung. Kadang dia tersenyum sendiri bahkan sempat dibuat tertawa terbahak-bahak. Aksi pertunjukan anak-anak titisan matahari ini memukau Laluna maupun orang-orang yang berada di pesta itu. Di bawah temaram sinar bulan purnama dan beberapa set lampu di sekitar panggung, Laluna duduk dengan kepala menengadah ke atas. Ndangak. Dia seperti melamun. Riuh suara manusia berkostum aneh memberi tepukan tangan pada anak-anak titisan matahari itu tak dihiraukannya. Dengan alunan musik malam hari yang gemericik datang dari arah sungai membawanya tetap melamun saja.



Jogja, 2009