Rabu, 02 Desember 2009

Kunang-kunang = Kuku Orang Mati (?)

“Ulatna kang nganti bisane kepangguh, galedehan kang sayekti,
Talitinen awya kleru, larasen sakjeroning ati, tumanggap dimen tumanggon”

Kutipan di atas ialah bunyi dari salah satu bait suluk Serat Sabda Jati. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia maka penggalan bait itu kurang-lebih menjadi demikian: carilah hingga ketemu, pandanglah dengan seksama, telitilah jangan sampai salah, endapkanlah dalam hati, agar benar menanggapi. Penggalan bait padat berisi petuah yang elok nan bijak ini sebagai landasan berpikir dalam memecahkan permasalahan di sini, untuk menelusuri suatu anggapan yang beredar pada sebagian masyarakat, Jawa khususnya.

Kita tahu dalam kebudayaan masyarakat Jawa, berupa warisan cerita lama, legenda, ataupun mitos itu didominasi oleh tradisi lisan daripada tradisi tulisannya. Sehingga, bagi saya, masih terasa sulit mencari literatur mengenai beberapa mitos dalam pandangan kebudayaan masyarakat tersebut.

Padahal mitos menurut Susanto (1987) adalah bahasa untuk diketahui dan mempunyai arti secara tersirat. Kemudian berfungsi menyadarkan manusia tentang adanya kekuatan-kekuatan ajaib di dunia lain. Memberi jaminan bagi masa kini, memberikan pengetahuan tentang dunia, dan sebagai perantara manusia dengan daya-daya kekuatan alam.

Sebagai misal mitos yang terdapat dalam kebudayaan Jawa ialah tentang dewa-dewa yang kita kenal dengan tokoh punakawan dalam cerita pewayangan; tentang Ratu Laut Selatan; tentang peristiwa mencari pesugihan yang lelakunya dikenal dengan memelihara tuyul; tentang fenomena babi ngepet; fenomena alam yang dapat memberi pertanda baik atau buruk atas kehadiran ular sawah maupun burung elang; sampai pada akhirnya terbersit dalam benak mengenai cerita kunang-kunang yang berasal dari kuku orang mati.

Lantas permasalahannya mengapa kunang-kunang dianggap sebagai jelmaan kuku orang mati oleh sebagian orang tua pada masyarakat tersebut?

Tahayul versus Kenyataan

Permasalahan ini menghantui benak saya yang sudah terlanjur penasaran. Sehingga, sore hari waktu itu, memutuskan untuk mencari keterangan dari beberapa orang. Berbekal pena dan buku catatan kecil, saya kayuh sepeda ke arah Selatan. Meniti sepanjang pematang sawah, di situ, para petani sedang sibuk memanen padi. Saya berhenti di daerah pedusunan bernama Widoro.

Secara geografis Dusun Widoro berada masuk ke dalam, agak jauh dari arah Timur Jalan Parangtritis. Tepatnya terletak di Kelurahan Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Lalu menghampiri lelaki paruh baya yang waktu itu sedang menggembalakan kambing.

Penggembala kambing bernama Pak Sarjono (45) menjadi informan pertama. Berdalih meminjam korek api dan menyulut rokok, saya menghampiri beliau yang sedang duduk di bawah pohon kelapa. Singkatnya, Pak Sarjono mengatakan bahwa di sawah-sawah sekitar dusun Widoro masih terdapat binatang kunang-kunang. Beliau mengaku di waktu kecil dulu mendapat larangan menangkap kunang-kunang dengan alasan berasal dari kuku orang mati juga.

Dan hal itu dianggapnya hanya cerita tahayul belaka. ”Orang tua zaman dulu melarang anak-anaknya menangkap kunang-kunang sebetulnya karena baunya ndak enak to, mas, makanya menakut-nakuti kalau kunang-kunang itu jelmaan kuku orang mati,” katanya. Dengan nada tegas Pak Sarjono melanjutkan pendapat, ”kadang-kadang banyak orang tua beranggapan begitu juga karena hanya ikut-ikutan (elu-elu) berpendapat tanpa mengetahui secara pasti pokok persoalan sebenarnya”.

Berbeda dengan pendapat Pak Sarjono ini, sebagai informan kedua ialah mbah Winar (70), yang kala itu sedang asik memperhatikan bebek gembalaannya sedang berburu makanan. Ketika saya datang menghampiri, Mbah Winar membenahi capingnya seraya tersenyum menunjukkan wajah bersahabat. Beliau berpendapat bahwa kunang-kunang ialah kembange jagat (bunga keindahan alam).

Beliau juga mengaku bersama teman-teman di masa kecilnya suka bermain memanfaatkan binatang kunang-kunang. ”Waktu kecil dulu, di mana masih belum ada listrik, saya bersama teman-teman sering memasukkan kunang-kunang ke dalam gendhul (botol) sebagai penerangan untuk mencari jangkrik,” katanya.

Sebetulnya Mbah Winar sendiri memiliki anggapan bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati itu berdasarkan kasunyatan (kenyataan) dari sucinya perkataan orang-orang jaman dulu. Akan tetapi menurutnya kita boleh percaya atau boleh juga tidak percaya.

”Orang-orang dulu itu kan sakti-sakti, to? Boleh jadi ucapannya bisa benar. Lha kalau di zaman sekarang kan orang-orangnya sudah tidak bersih lagi. Lihat saja orang-orang pemerintahan kita itu, senang melakukan kebohongan, iya to? Zaman sekarang banyak manusia korup, mas.” Katanya dengan wajah polos tanpa beban. Mbah Winar seakan ingin berkata kepada kita bahwa soal cerita warisan orang tua itu boleh saja percaya atau tidak, tetapi jangan melupakan pesan yang terkandung di sebalik ceritanya.

Satu lagi informan ketiga bernama Mbah Yoso Utomo (67). Beliau mengaku tidak tahu-menahu tentang perkara ini. Namun yang unik dalam pendapat Mbah Yoso di sini ialah keberadaan binatang kunang-kunang, atau bahkan binatang lain, sekarang tidak sebanyak dulu. Menurutnya pertumbuhan binatang yang ada di alam itu bisa dikatakan menyurut. Karena ulah manusia yang suka memburu, dan membasmi dengan racun kimia.

Relevansinya Kini
Berdasarkan penelitian beberapa ilmuwan tentang alam, ternyata kerlip cahaya atas tubuh kunang-kunang digunakan sebagai alat komunikasi. Kunang-kunang dapat berkomunikasi dengan memberikan sinyal atau kode tertentu kepada binatang sejenisnya. Sinyal tersebut digunakan baik untuk melangsungkan reproduksi maupun untuk menghindari ancaman (survive) yang dapat membahayakan kelangsungan hidupnya, agar tidak dimangsa oleh binatang lain.

Kerlip cahaya kunang-kunang ini menjadi daya tarik bagi sebagian manusia, baik untuk kepentingan riset maupun sekadar menikmati pendar kerlip cahayanya. Karena memang kerlip kunang-kunang menawarkan keindahan tersendiri pada lanskap malam hari. Kerlip cahaya itu dikenal oleh ilmu pengetahuan dengan zat kimia bernama lusiferin. Warnanya pun beragam, ada yang hijau kekuning-kuningan, biru kehijau-hijauan sampai yang berwarna merah pucat.

Wajar jika cahaya kunang-kunang menjadi kesenangan dan ketertarikan bagi anak-anak kecil maupun manusia dewasa. Lantas apa relevansi cerita lama yang paradoks itu di tengah kemajuan peradaban modern? Bagi kebanyakan orang modern anggapan bahwa kunang-kunang itu jelmaan kuku orang mati hanya sebatas tahayul. Karena hal ini dianggap tidak masuk akal.

Logika sederhananya tentang mengapa orang tua dulu melarang menangkap kunang-kunang dan beranggapan bahwa itu jelmaan kuku orang mati mungkin untuk menakut-nakuti anak-anaknya agar tidak bermain di malam hari. Hal ini boleh jadi bisa benar. Atau, sesuai dengan informasi dari Pak Sarjono, ialah karena faktor—kunang-kunang dianggap sama dengan walang sangit—baunya ampak, tidak enak dan kebanyakan orang tua hanya ikut-ikutan berpendapat.

Dengan menakut-nakuti kunang-kunang sebagai jelmaan kuku orang mati kepada anak-anak barangkali juga untuk memberikan pendidikan sedari kecil supaya tidak mengganggu (mengeksploitasi!) ekosistem binatang yang ada pada alam. Saya pikir alasan ini yang masuk akal dan merupakan wujud kearifan di sebalik cerita yang pernah beredar pada masyarakat tersebut. Bukankah kebudayaan masyarakat Jawa notabene sering menggunakan lambang yang menunjukkan kedekatannya dengan alam?

Tetapi di tengah-tengah masyarakat dalam peradaban masyarakat saat ini sering tidak mengindahkan dan bersahabat dengan alamnya lagi. Telah banyak kasus eksploitasi alam untuk kepentingan-kepentingan individu atau kelompok dengan alasan memajukan teknologi. Kalau pada akhirnya itu malah merugikan manusia dan alam lingkungan di sekitarnya akan menjadi tiada guna mengagung-agungkan teknologi peradaban modern saat ini.

Jadi kesimpulan atas permasalahan kunang-kunang sebagai jelmaan kuku orang mati itu memang hanya sebatas tahayul atau rekaan dari kearifan orang tua terhadap anak-anaknya di masa kecil. Itu benar. Tetapi di sebalik ketahayulannya itu ternyata menyimpan pesan. Supaya kita dapat belajar dan bisa lebih menghargai lingkungan alam sekitar.

Sebab bukankah telah banyak berita mencuat kasus eksploitasi dan kerusakan alam karena faktor ulah manusianya sendiri? Dan bukankah kunang-kunang hanya dapat hidup di tempat yang jauh dari polusi? Entahlah. Mungkin Ebit G Ade memiliki jawabannya karena selalu bertanya pada rumput yang bergoyang.


referensi bacaan


Endo Suanda, Tikungan Iblis Jitu Menutup Tahun: Kisah Sedih yang Lucu, artikel ini dimuat oleh Majalah Gong edisi107/X/2009.

Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Kanisius, 1987.

Harun Yahya, Mahluk-Mahluk Bercahya, artikel ini dimuat di salah satu situs web.