Rabu, 23 Desember 2009

Dua Jam bersama Djoko Pekik

Kami selayaknya berada dalam galeri saat pameran seni rupa berlangsung saja, ketika kami—saya dan kawan-kawan peserta kelas Aksara—mendapat kesempatan berkunjung ke studio pelukis kawakan: Djoko Pekik, pada hari Minggu, 15 November 2009 yang lalu. Dengan senang hati kami berangkat dari Patehan Tengah menuju Bantul. Dan tiba di rumah kediaman Pak Pekik menjelang ashar.

Halaman rumah kediamannya cukup luas, jauh dari hiruk-pikuk bising seperti di kota. Di situ suasananya berkesan teduh, nyaman, dan asri sebab pepohonan juga terlihat amat rimbun. Sebelum memasuki area utama di sekitar rumahnya terdapat lorong-lorong berpagar bambu. Jarak beberapa meter dari rumah induk terdapat gapura bertuliskan ‘Kiai Lampor’. Entah apa maksud dari tulisan itu. Dan sungai mengalir cukup deras di pinggir halaman rumahnya.

Beliau menyambut hangat ketika kami tiba di sana. Tampilan gaya yang sepertinya sudah menjadi ciri khas, setelan baju putih polos dipadukan dengan celana kombor hitam ala Warok, terlihat begitu serasi. Setelahnya pak Pekik mempersilahkan kami duduk di beranda ruangan yang terdapat seperangkat alat musik gamelan di dalamnya. Kami bercengkrama di situ beberapa saat sebelum masuk ke studio lukisnya.

Lalu Ferial yang supel, dengan gaya akrabnya membuka percakapan awal. Dia menjelaskan maksud kedatangan kami dalam berkunjung ke rumah Pak Pekik. Bahwa kami datang atas salah satu program IVAA-Aksara (creative arts writing club) ke studio seniman. Pak Pekik mengangguk-anggukkan kepala coba memahami penjelasan itu, dan sesekali tangan kanan menyisir-nyisir jenggotnya yang panjang memutih. Beliau membuka percakapan dengan bertanya kepada kami, ”mengapa menulis, bukankah penulis sudah banyak?” katanya.

Suasana menjadi hening sesaat ketika Pak Pekik mengeluarkan pertanyaan itu. Bagi saya, pertanyaan mendasar tersebut penting. Sebab saya pikir semua orang bisa saja menulis, tetapi apakah semua tulisan dapat dengan mudah dipahami pembacanya? Soal penulis sudah banyak itu memang benar. Tapi tidak semuanya dari banyak penulis bisa menjanjikan pemahaman terhadap pembaca.

Jadi singkatnya mengapa menulis, karena, ingin menyampaikan suatu gagasan lewat tulisan, dengan cara penyampaian yang beragam. Ada persoalan rumit dengan penyampaian sederhana. Ada pula persoalan sederhana tetapi disampaikan dengan rumit. Ya, ini sekadar jawaban saya atas pertanyaan pak Pekik yang pada waktu itu tidak tersampaikan. Selanjutnya mari kita lanjutkan cerita di dalam studio lukis Pak Pekik.

Studio Lukis Djoko Pekik
Di sela-sela obrolan dengan Pak Pekik pada ruangan tadi, tiba-tiba beliau kedatangan tamu lain. Entah siapa laki-laki paruh baya yang ingin menemuinya itu. Sehingga kami pun dipersilahkan masuk ke dalam studio lukis, sementara beliau menerima tamu barunya. Kami berhamburan masuk ke studio dan melihat karya-karya lukis Pak Pekik. Karya lukis yang ada dalam studionya banyak. Beragam tema gambar dan ukuran di pajang pada dinding ruang lukisannya yang menjorok di bawah (basement) rumah induk.

Pertama kali masuk dalam ruangan ini terdapat lukisan yang ukurannya sangat besar. Lukisan bergambar cerobong merah dengan asap membumbung tinggi ke udara dan di sebelahnya ada mobil pemadam kebakaran ditata berdekatan dengan lukisan berukuran sangat besar itu. Di sebelahnya lagi terdapat lukisan bergambar Keraton Yogyakarta pada malam hari. Seingat saya pada tahun dua ribu, beliau mengaku lukisan tersebut dilukisnya pada saat malam itu juga. Angka dua ribu dilukisnya tepat di atas bangunan Keraton.

Pak Pekik sudah mengahampiri kami lagi. Mungkin tamunya tadi sudah pulang. Lalu beliau duduk di kursi yang sudah tersedia di situ. Tanpa dikomando kami pun akhirnya kembali bercengkrama. Bertanya tentang ini-itu seputar pengalaman beliau melukis. Dalam obrolan tersebut Pak Pekik mengaku tentang lukisan Keraton pada malam hari tadi. Beberapa hal lagi yang saya ingat dalam percakapan ini ialah beliau sempat bercerita tentang lukisan yang berjudul ‘Babi Api Kawin’, sebuah karya lukis yang sempat melambungkan namanya.

Djoko Pekik dan Karya Kemanusiaan
”Celeng itu kan simbol kekuasaan (yang rakus, serakah, dan tamak). Jadi wajar saja ketika sistem kekuasaan mendapat suatu kritikan” katanya. Dan mungkin saja simbol celeng dalam lukisan berjudul ‘Babi Api Kawin’ itu ialah wujud ekspresi kritiknya terhadap pemerintahan yang berkuasa. Asumsi ini menjadi kuat ketika saya bertanya apa yang diperjuangkan oleh beliau dalam melukis, dan Pak Pekik menjawab: keadilan.

Barangkali kalau dalam dunia kepenulisan ada Pramoedya Ananta Toer, maka di dunia pelukis ada Djoko Pekik, yang konon ceritanya gencar menyuarakan rakyat kecil dalam ungkapan bahasa ekspresinya. Ekspresi mengedepankan misi kemanusiaan ini sangat terlihat pada lukisan yang berjudul ‘Tak Seorang pun Berniat Pulang Walau Mati Menanti’. Sebuah lukisan dengan latar belakang peristiwa tahun 1965.

Lukisan ini bergambar Tank militer yang hendak melindas banyak manusia di depannya. Banyak manusia tadi matanya ditutup dengan kain warna merah. Berkesan penindasan sekali. Sebab dalam lukisan ini tergambar pula para militer itu sedang menendang-nendang beberapa manusia di situ.

Di antara banyak manusia yang saling berpegangan satu sama lain, dan tertindas, Pak Pekik berada pada pangkal paling ujung. Tangannya memegang punggung manusia yang berada di depannya, begitu pula seterusnya. Seperti sedang menyalurkan energi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

Ya, ini sepenggal cerita dari lukisan Pak Pekik yang saya ingat dan perhatikan kala itu. Kami sempat terlibat dalam pembicaraan yang hangat di dalam studio lukis pak Pekik. Tetapi sayang waktu yang dimiliki oleh beliau tidak banyak. Sehingga beliau memutuskan, ”kalau tidak ada yang ditanyakan lagi pada saya berarti pertemuan kita sudahi saja sampai di sini, saya mau istiharat.” Katanya.

Dan kami pun mohon diri meninggalkan rumah kediamannya menjelang maghrib. Bersamaan dengan kami meninggalkan rumah Djoko Pekik ini, cerita saya mengenai kunjungan ke rumahnya berakhir juga, ketika adzan maghrib itu berkumandang lagi.